Mendaki

Tidak semua orang pandai konsisten dengan jalan pilihan dan mendaki. Sebagian memilih jalan pintas. Melakukan barter hati dengan materi. Mengenyampingkan moral dengan menjadikan kecerdasan sebagai alatnya. Apa yang dimiliki seseorang, tergantung bagaimana ia akan dimanfaat. …

Tidak semua orang pandai konsisten dengan jalan pilihan dan mendaki. Sebagian memilih jalan pintas. Melakukan barter hati dengan materi. Mengenyampingkan moral dengan menjadikan kecerdasan sebagai alatnya. Apa yang dimiliki seseorang, tergantung bagaimana ia akan dimanfaat.

Kontestasi pilihan, antara meluncur dan mendaki, akan didaur persepsi secara berbeda oleh masing-masing orang sesuai kepentingannya. Dengan alasan tertentu, seolah membuat seseorang bisa melakukan apapun. Tidak mengherankan, selama ini tampak bahwa tidak jaminan moral orang pandai lebih tinggi dibandingkan orang tidak pandai. Tidak ada jaminan orang kecil jauh lebih hina dibandingkan dengan orang yang tidak hina.

Terkait dengan bagaimana pengetahuan dan ilmu yang dimiliki seseorang akan dipergunakan sesuai selera. Sedikit orang yang bisa mempertahankan objektivitasnya, ketika kepentingan merasuk dalam diri manusia.

Pada masa lalu, kita bisa membaca banyak kisah. Salah satunya adalah pada suatu hari bulan Mei 1889, dari Buitenzorg (Bogor), Snouck Hugronje, menyampaikan hal penting kepada Gubernur Jenderalnya. Rupanya, membaca surat Snouck, pembicaraan itu sudah berulang kali dilakukan. Ia menulis, “Sehubungan dengan pembicaraan lisan yang telah saya lakukan dengan Yang Mulia sebagai kehormatan yang diberikan kepada saya, maka saya memberanikan diri untuk kembali menyinggung permohonan saya dalam surat pribadi.”

Ada persoalan apa sampai-sampai Snouck harus mengirimkan surat secara pribadi? Ia sedang menggabungkan apa yang dinamakan kebijakan politik dengan kerja penyelidikan. Apa yang menjadi tugasnya pengambil kebijakan, dengan kerja ilmiah yang menghasilan laporan penelitian. Khususnya, mengenai praktik agama Islam di daerah. Snouck memiliki modal tentang itu. Jauh hari sebelumnya ia sudah melakukan pendalaman dan pergaulan dengan orang-orang Aceh di Mekkah.

Dengan bangga ia menulis dalam suratnya, “Lagi pula pengalaman yang saya peroleh di Mekah dalam pergaulan dengan orang-orang Aceh agaknya akan membuat saya mampu memperoleh agak banyak informasi, biarpun hanya dari sejumlah kecil sumber yang dapat kami peroleh dalam keadaan sekarang.”

Beberapa hal yang didesak bisa dilakukan untuk pengumpulan data, terutama mengenai tata susun sekolah agama. Di samping itu, amal yang mereka dilakukan di sana, tentang penyebaran tarekat dan tasawuf, dan sebagainya. “Itu semuanya adalah hal-hal yang sulit diketahui melalui para pejabat yang tidak dapat menggunakan sebagian besar waktu mereka untuk telaah Islam yang mendalam. Padahal, soal-soal tersebut dapat didengar dalam waktu yang singkat dari beberapa orang pribumi ahli kalau mereka diberi pertanyaan-pertanyaan yang baik.”

Begitulah ia meyakinkan gubernur jenderal. Bahkan dengan sangat yakin, ia meyakinkan gubernur jenderal, bahwa penelitian penelitian yang akan dilakukan jauh lebih subur andaikata keadaan membolehkannya berkunjung ke pusat-pusat kehidupan Islam yang terpenting.

Permintaan lain Snouck, adalah mempertemukannya –langsung atau tidak langsung –beberapa orang-orang yang mempunyai pengetahuan yang diinginkan. ”…tidaklah tertutup kemungkinan Gubernur Aceh – kalau perlu – akan mengusahakan pembicaraan antara saya dengan seseorang yang selalu saya dengar dipuji di Mekah oleh orang-orang Aceh sebagai pemimpin rohani mereka. Syekh Saman …,”

Snouck sangat yakin bahwa keadaan agama terjalin erat dengan politik, di tanah ini. Tokoh rohaniawan atau ulama, baginya sebagai sesuatu yang penting untuk tidak dimusuhi –secara terbuka. Di belakang, ia menyuplai agar kebijakan mengerasi.

Begitulah intelektual penting itu, yang sebagian referensi dikatakan tidak terbantahkan hingga kini. Generasi kemudian, menganggap sebagai seseorang yang super luar biasa.

Kondisi tersebut, mungkin dapat dipahami sebagai politik belah bambu. Makanya ketika “Teori Receptie Complexu” digugat “Teori Receptie” (antara Van Den Berg dan Snouck), Hazairin, sang pahlawan hukum Indoneia, menyebut itu sebagai pemikiran untuk pecah belah. Ada kepentingan. Untuk menghancurkan perkembangan Islam. Melalui Aceh.

Hindia Belanda, tidak masalah membayar mahal untuk Snouck. Seabad yang lalu, ilmuwan bisa menyumbang ilmu dan pengetahuan kepada banyak orang –terlepas ilmu dan pengetahuan tersebut—dipandang dalam perspektif berbeda oleh ilmuwan lainnya. Generasi hebat sekarang tentu bisa memberikan kontribusi yang berlipat-lipat dari para ilmuwan masa lalu. Harapan dengan pola-pola yang sehat dan tidak dengan penuh kepentingan.

Leave a Comment