Ada satu gambar yang beredar di media sosial. Sejumlah anak dan kerabat berkumpul di rumah orang tua mereka. Namun saat sampai di sana, mereka duduk dalam satu ruang, dengan memegang masing-masing satu benda di tangannya. Mereka saling sibuk sendiri dan hampir tidak memedulikan orang di sekitarnya.
Seorang kampung yang saya kenal, pernah memarahi anaknya, saat saya berkunjung dan kami berbicara, namun anaknya itu menjawab sambil menonton televisi. Ia marah karena tidak mungkin menjawab secara bersahaja saat perhatian kita terbagi dengan televisi.
Orang yang memegang alat komunikasi, tidak mungkin bisa efektif berkomunikasi dan bahkan bersosialisasi di antara mereka, karena perhatiannya yang terpecah. Semua hanya memperhatikan secara serius apa yang ada dalam alat komunikasinya.
Nah, setelah melihat sejumlah gambar yang dikirimkan melalui media sosial itu, persepsi tentang bersosialisasi mungkin sudah harus kita dalami lagi. Maksud saya adalah apakah dengan hadirnya fisik seseorang dalam keberadaan orang-orang di sekitarnya sudah cukup mewakilkan bahwa yang bersangkutan sudah bersosialisasi? Pertanyaan ini, karena sejumlah gambar, bahwa orang-orang sedang berada dalam lingkungan orang-orang secara fisik, namun sesungguhnya, jiwa mereka bertebar entah ke mana.
Alat komunikasi telah membuat mereka saling tidak perduli terhadap sekeliling. Orang-orang yang duduk di banyak tempat, di warung kopi, di halte, di lobi kampus, masing-masing memegang benda tertentu di tangannya, matanya ke layar masing-masing, akan tetapi mereka berada dan berdekatan.
Menarik karena perkembangan alat teknologi akhir-akhir ini sangat pesat. Satu alat sudah memiliki berbagai vitur di dalamnya. Dengan berbagai vitur tersebut, membuat posisi banyak orang seperti tidak bisa jauh dari alat tersebut. Lalu karena berbagai vitur, kebutuhan akan energi atau baterai juga semakin tinggi.
Alat lain lalu tumbuh untuk menggantikan agar tidak sebentar-sebentar orang harus menyambungkan kabelnya dengan jaringan listrik: power bank. Untuk mereka yang luar biasa sibuk, power bank yang mereka punya lebih dari satu. Apalagi dengan jumlah adroid atau alat komunikasi yang lebih dari satu dan dipergunakan terus-menerus, sudah pasti jumlah power bank juga harus lebih dari satu.
Lalu masing-masing dengan alat komunikasi yang dimiliki, memiliki sejumlah akun media sosial masing-masing mereka. Dari masing-masing akun tersebut mereka memiliki teman yang jumlahnya ribuan. Bisa dibayangkan dari ribuan akun itu, bagaimana tidak melahirkan komentar yang tidak putus-putusnya. Mereka yang tidak bisa mengontrol diri untuk membatasi komunikasi tersebut, bisa jadi sebagian besar waktu akan dihabiskan untuk hal-hal itu saja. Lalu bukankah sangat masuk akal ketika banyak orang kemudian tidak bisa lepas tangannya dari mengontrol alat komunikasi?
Pada posisi demikian, orang bisa saja berada di samping teman-temannya. Mulut menjawab dan berbicara mengenai sesuatu. Seorang anak bahkan bisa menyahut ketika orang tuanya memanggil, lalu kakinya juga ikut melangkah ke mana diperintahkan. Namun ketika sampai di depan sang ibu, mata dan tangannya sering tak berubah: tak putus menatap benda yang di tangannya. Orang berbicara dan berkomunikasi dalam lingkungan banyak orang lain, namun jiwanya seperti tidak. Jiwanya seperti memiliki kesibukan sendiri-sendiri.
Pada taraf ini, ada perhatian yang terkurangi secara drastis. Kondisi ini bisa berimplikasi lebih jauh, bahwa mendengar lahir batin ketika orang berbicara sudah tidak bisa lagi. Kita bisa jadi suatu saat tidak bisa membedakan lagi antara orang senang dengan orang sedih dari wajah, karena terbatasnya sudah perhatian kita, selain dari hanya mendengar suara mereka yang berbicara. Saya sungguh terkesan dengan orang tua yang masih menegur anaknya untuk mematikan apapun sementara ketika orang tua sedang berbicara. Sebaliknya, orang tua juga memberi perhatian penuh ketika anaknya sedang mengungkap sesuatu.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.