Berbagi sesuatu, terutama dalam menyambut momentum tertentu, memiliki makna mendalam. Tidak hanya bagi yang menerima, melainkan juga bagi yang memberi. Bagi yang menerima, terutama mereka yang hidup berkekurangan secara materi, menerima sesuatu akan sangat berarti. Bagi yang berkelebihan, dan memiliki kemauan untuk berbagi, akan berdampak pada jiwa sosial dalam mengurangi banyak beban orang.
Tidak masalah berapa kali momentum akan hadir. Tidak penting juga menghitung-hitung senilai apa sesuatu yang diberikan itu. Berbagi pada waktu yang tepat, akan memberi kebahagiaan yang berlipat bagi semua pihak.
Penerima harus membuang egonya, untuk menerima apa adanya. Pemberi harus membuang keangkuhan, dengan kesediaan berbagi secara tulus, tidak mengungkit-ungkit. Bertemu nihil ego dan nihil angkuh, akan memberi kebahagiaan besar bagi semuanya.
Ada yang khusus hanya di sini: meugang –tradisi yang secara khusus dan turun-temurun sewaktu menyambut bulan Puasa. Dua hari menjelang Puasa, ada meugang rantoe –dikhususkan untuk mereka yang berdinas. Sehari sebelum Puasa, meugang biasa. Hanya satu perbedaan pada meugang ini. Pada adanya daging di tiap-tiap rumah. Masalahnya adalah tidak setiap saat orang bisa makan daging. Khusus untuk makanan jenis ini, hanya bisa dimakan sewaktu-waktu saja. Mungkin orang yang berpunya, bisa makan menurut sekehendak –kapan saja. Orang yang tidak berpunya, tidak bisa begitu. Ketika harga daging kerap melonjak berlipat menjelang meugang, banyak yang urus urut dada. Kadang-kadang muncul pertanyaan yang usil, apakah penguasa bisa tidur enak dengan harga daging yang tidak stabil ketika menjelang agenda penting ini.
Banyak orang semakin bermimpi untuk makan daging. Padahal di kampung-kampung, yang sekarang banyak sudah ditinggalkan, pada saat meugang solidaritas ini diuji. Rumah yang tidak mengepul asap, akan diantar oleh tetangganya. Orang-orang yang tidak peduli terhadap sekelilingnya, akan dianggap sebagai orang yang tidak patut untuk merayakan meugang.
Jadi meugang tidak berarti hari makan sepuasnya –sebagaimana mungkin dipahami sebagian orang—seolah meugang adalah even untuk berpuas diri, sebelum besoknya, akan menjalani puasa. Padahal tidak demikian. Saat meugang sekali pun, makan harus dibatasi sedemikian rupa. Tidak boleh, karena alasan meugang, lalu makan hingga perut penuh.
Ada keinginan ingin berbagi terhadap sesama. Apalagi momentum untuk makan daging seperti itu, hanya beberapa kali saja dalam setahun. Ada proses membagi dan rasa. Bahwa semiskin apa pun orang, setidaknya dalam setahun bisa merasakan dua atau tiga kali makan daging.
Sekali lagi, meugang bisa jadi momentum. Pada saat yang sama, solidaritas sosial diuji. Pada begitu juga perhatian penguasa terhadap rakyatnya. Harga daging saja tidak bisa dinormalkan, konon lagi yang lain. Jauh sekali ketika suatu masa, penguasa turun ke bawah untuk membagi-bagikan daging meugang terhadap orang miskin. Kini yang menunggu di tangga penguasa, untuk mendapatkan setumpuk atau beberapa tumpuk daging meugang, tak sebatas lagi orang miskin. Mobil pribadi yang antre, menampakkan kondisi yang terus berubah. Atau mungkin saja, level miskin yang terus juga berubah. Entahlah.
Ada banyak orang berkesempatan tersenyum, seandainya meugang berdekatan dengan agenda politik –yang dalam bahasa tertentu disederhanakan menjadi puliek itek (menguliti bebek). Ketika ada agenda itu, ada banyak kunjungan, ada banyak bawaan. Orang-orang diajarkan untuk menerima semua bawaan, tanpa kesempatan untuk menimbang-nimbang. Sedangkan para pembawa, pada akhirnya akan tertawa lepas, di belakangnya.
Membiasakan berbagi adalah satu hal. Hendaknya tidak mengaitkan dengan berbagai hal yang membuat nilai berbagi menjadi kosong. Keangkuhan mereka yang berbagi harus dinihilkan. Berbagi dengan membuang berbagai kepentingan, harus dibiasakan. Jangan gara-gara berbagi satu tumpuk daging, ingin mendapatkan keuntungan lain yang bertumpuk-tumpuk. Ingatlah dampak.