Keinginan orang untuk mencapai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi, tiada pernah berhenti. Ibarat kata pepatah peneguh semangat, hilang satu tumbuh seribu, maka berbagai temuan di dunia ini, seolah saling berlomba. Berbagai alat yang menjadi penopang kebutuhan manusia di dunia, selalu berganti dari waktu ke waktu. Belum sempurna memakai alat tertentu, sudah keluar model terbaru dengan berbagai variannya. Melalui berbagai perkembangan informasi ilmiah, kita bisa menyaksikan bagaimana kesan saling berlomba seperti itu. Sesuatu yang monumental, bahkan ingin dilakukan oleh banyak orang.
Salah satu kegiatan yang monumental setiap tahun adalah pemberian hadiah nobel, dalam sejumlah bidang. Nama nobel itu sendiri diambil dari nama seorang ilmuwan yang banyak menghibahkan hartanya untuk jalannya pemberian penghargaan ini. Alfred Bernhard Nobel, lahir di Stockholm dan meninggal dunia di San Remo (21 Oktober 1833 – 10 Desember 1896). Ia penemu dinamit dan detonator. Pada tahun 1901 pertama hadiah nobel diberikan dalam bidang fisika, kimian, sastra, fisiologi, obat-obatan, dan perdamaian, berdasarkan satu surat wasiat yang ditinggalkan Nobel agar dananya dimanfaatkan untuk itu.
Maka perkembangan apapun dalam konteks ilmu pengetahuan, berlangsung kesan kompetitif, bukanlah sesuatu yang asing. Debat kemudian adalah apakah dalam semua hal temuan ilmu pengetahuan dan teknologi itu bisa langsung diproyekkan? Di sinilah pendapat orang terbelah. Salah satu wujud konkretnya adalah dalam proyek kloning manusia, maka sebagian pihak merasa walau ia sebagai puncak ilmu pengetahuan dan teknologi, namun tidak etis hal tersebut dikembangkan.
Namun demikian, upaya kloning sendiri sudah berlangsung lama, walau tidak lewat manusia. Suatu waktu, saya mendapatkan satu edisi tabloid Jumat Harian Republika, edisi 10 Januari 2003, yang mengulas tentang kloning abad ke-21. Berita ini terkait dengan hadirnya seorang anak manusia hasil kloning, pada 26 Desember 2002, yang kemudian dinamakan Eve. Sosok Prof. Teuku Jacob, mengungkapkan semacam keresahan, dengan menyebut istilah pabrikasi, sebagai tanggapan bermuatan moral untuk proyek kloning ini. Teuku Jacob adalah guru besar antropologi ragawi, pernah memegang jabatan sebagai rektor Universitas Gadjah Mada untuk periode 1982-1986.
Baginya, rekayasa genetik itu merisaukan dari sudut etika, budaya, dan agama. Rekayasa genetis dapat mereproduksi manusia dalam jumlah besar individu yang sudah dimanipulasi genetis, itu tetap berpeluang meresahkan dan membahayakan. Secara etika, ia mempertanyakan apakah kloning manusia tidak berarti upaya menuju pabrikasi manusia? Sebab, menurutnya, kloning manusia sama saja dengan menurunkan derajat manusia.
Ungkapan Teuku Jacob, sekali lagi tidak berlebihan. Namun sepanjang sejarah, perkembangan untuk mencapai derajat ini tetap dilakukan. Jika melirik ke belakang, sejarah kloning ini sudah berlangsung sejak lama. Dalam buku yang ditulis Aziz Mushoffa dan Imam M., Kloning Manusia Abad XXI (Pustaka Pelajar, 2001), disebutkan bahwa kloning itu, pertama sekali dilakukan pada 1930-an, yaitu klon pada tumbuhan, dengan menempelkan pucuk ranting pohon induk ke calon batang-batang bawah. Bisa menghasilkan ratusan atau ribuan ranting dalam waktu singkat. Pada 1952, dua ilmuan, Robert Briggs dan Thomas King, berhasil mengkloning sel cebong. Sepuluh tahun kemudian, ilmuan AS, John Gurdon, melakukan kloning terhadap katak. Juli 1978, lahir bayi bernama Baby Laouse melalui pembuahan di tabung. Pada 1983, berhasil dilakukan trasfer embrio manusia dari satu ibu ke ibu yang lain. Pada 1986, proses inseminasi buatan pada manusia berhasil dilakukan. Setahun kemudian, seorang ibu melahirkan bayi kembar tiga hasil pencangkokan embrio putri dan menantunya. Tahun 1996, dua ilmuan Scotlandia, Dr. Keith Campbell dan Dr. Ian Wilmut, berhasil menciptakan seekor biri-biri lewat proses kloning yang lahir dari sel epitel kelenjar susu domba Finn Dorset.
Pernahkah kita membayangkan dalam satu dekade terakhir ini, perubahan apa lagi yang akan ditemukan manusia untuk diproyeksikan?