Hari ini saya kembali membuka tulisan lama. Ingin melihat kaitan kemiskinan dengan perdamaian. Bukan sesuatu yang sederhana, namun harus dilakukan untuk mencapai perdamaian yang lebih luas. Orang kadangkala melihat secara simpel, seolah masalah tertentu hanya terkait dengan hal tertentu saja. Padahal tidak demikian. Masalah kecil bisa memicu masalah besar, bahkan hal yang kecil pun kadangkala menyelesaikan hal yang besar.
Keterhubungan ini yang selalu harus dilihat. Masalah sekecil apapun harus disambungkaitkan secara utuh dengan berbagai hal yang disekelilingnya. Begitulah masalah yang harus dilihat ketika ingin menyelesaikan masalah, termasuk masalah yang besar.
Saya ingin tuliskan lagi satu hal. Ketika menyampaikan ceramah di hadapan Panitia Nobel di Oslo, Norwegia, 10 Desember 2006, Muhammad Yunus dengan yakin mengungkapkan hal yang mungkin tidak saja kurang mendapat perhatian dunia, namun juga membuat banyak orang tidak senang: “Saya yakin terorisme mustahil dikalahkan dengan aksi militer”. Sebelum kata-kata itu keluar, terlebih dahulu ia mengingatkan: Bukan untuk menghilangkan simpati terhadap betapa banyak yang telah menjadi korban teror di seluruh dunia.
Keyakinan Muhammad Yunus bukan tanpa alasan. ia membanding-bandingkan penyebaran pendapatan di dunia. Katanya, 94 persen pendapatan dunia jatuh kepada 40 persen populasi dunia. sebanyak 60 persen penduduk, hidup dengan 6 persen saja. Setengah penduduk dunia hidup dari pendapatan yang kurang dari U$2 sehari, sementara lebih dari semiliar orang hidup dengan kurang U$1 sehari.
Makanya ketika para pemimpin dunia berkumpul di Markas Perserikatan Bangsa-bangsa (New York) tahun 2000, lahir satu tekad yang kuat untuk menurunkan kemiskinan hingga separo pada tahun 2015. Namun sebelum hal itu selesai, dunia kemudian dikejutkan dengan rentetan konflik di beberapa negara yang berimplikasi secara global, sekaligus membuat tekad itu terpecah berkeping. Dimulai ketika teror berlangsung di Amerika, tidak berapa lama setelah pemimpin dunia berbicara kemiskinan. Lalu benar, kebijakan global dan negara-negara lalu berubah cepat –walau tetap diakui target utamanya tidak dilupakan.
Dengan kondisi itu, ia seperti berusaha mengingatkan bahwa kemiskinan menjadi sangat penting diperhatikan. Ia sangat percaya bahwa mencurahkan sumber daya untuk meningkatkan kehidupan orang miskin adalah strategis yang lebih baik ketimbang memboroskan untuk senjata.
Usahanya tidak sia-sia. Tahun 2007, Muhammad Yunus menulis buku Creating World Without Property. Rani R. Moediarta kemudian menerjemahkan buku ini dan diterbitkan Gramedia tahun 2008 dengan judul Menciptakan Dunia Tanpa Kemiskinan. Melalui buku itu, tergambar bahwa Yunus tidak hanya berbicara. Ia berpeluh keringat turun ke lapangan nyata. Dengan Grameen Bank, ia mendekati rakyat banyak dalam hal pelayanan sosial dan finansial, khusus bagi masyarakat miskin.
Langkah yang dilakukan sebenarnya dengan prinsip utama: kemiskinan adalah ancaman bagi perdamaian. Maka menarik, kegiatan yang bisa jadi sebagian orang melihat sebagai aktivitas ekonomi di lapis bawah, sedangkan dunia memandangnya sebagai sesuatu yang fundamental. Lalu Yunus mendapatkan Nobel Perdamaian tahun 2006, dan bukan Nobel Ekonomi. Ada satu mimpi yang mungkin hampir mustahil dari Yunus, soal harapannya bagi membentuk kekuatan bisnis sosial multinasional untuk menjaga manfaat globalisasi bagi orang miskin dan negara miskin.
Pola pikir Yunus menarik digunakan untuk melihat dunia kita. Bahwa ketika ada masalah apapun, apalagi yang berwujud puncak gunung es dari laut dalam, maka masalah harus berusaha dibongkar dari dasar, bukan dari permukaan. Sesuatu bergerak dari elemen kecil, yang ketika semua elemen kecil itu bergerak menjadi satu kekuatan besar yang akan menyelesaikan berbagai masalah fundamental. Hal lain adalah pesan bahwa berbagai masalah yang muncul pada dasarnya saling terkait.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.