Tanggal 26 Desember 2002, ketika lahir bayi pertama hasil kloning, dunia berhadapan dengan dua kutub pemikiran. Barisan pertama, yang gegap gempita dan merasa gembira bahwa sebagian puncak perkembangan ilmu pengetahuan sudah digenggaman manusia. Pada posisi demikian, seolah manusia sudah memiliki segalanya. Barisan kedua, kaum moral yang mempertanyakan bagaimana mentalitas manusia ketika penggandaan genetik digunakan untuk memperbanyak manusia. Dengan bahasa yang sederhana, ada penolakan berlangsungnya proyek duplikasi manusia.
Akan tetapi anak itu, yang lahir di Hollywood, dan kemudian dinamakan dengan Eve, merupakan ujung dari klaim keberhasilan proyek untuk memperpanjang hidup manusia yang melebihi manusia normal. Perdebatan moral juga satu hal, sehingga seorang ibu berkewarganegaraan Amerika Serikat yang memutuskan untuk menjadi rahim dari bayi kloning ini, harus dirahasiakan identitasnya. Disadari dari awal bahwa pembiakan demikian, di samping terhidang akan adanya kemudahan pabrikasi untuk memperbanyak manusia dalam sekejap, pun tidak dilupakan ia menimbulkan keresahan bagi dunia. Karena keresahan itulah, kecaman terhadap proyek ini muncul.
Begitulah, babak baru kemajuan sains dan ilmu pengetahuan modern telah hadir. Babak baru kemajuan sains dan ilmu pengetahuan modern, telah lama dimulai. Kloning dapat dinilai sebagai loncatan kemajuan sains dan kedokteran. Ada pula yang menilai bahwa kloning, menciptakan duplikat suatu organisme melalui proses aseksual atau penggandaan dari suatu makhluk melalui cara-cara nonseksual, bila dilegalkan bisa saja disalahgunakan, misalnya untuk menciptakan manusia-manusia penindas. Selain itu, pelegalan kloning juga akan menjungkirbalikkan nilai-nilai moral dan agama.
Dua hal terakhir disebutkan inilah yang menimbulkan ketakutan. Ketika lahir imajinasi manusia dengan menciptakan manusia yang miskin rasa. Ia dibentuk untuk kepentingan pengendali, yang bisa berakibat vatal bagi umat manusia. Perkembangan demikian, termasuk dalam ilmu pengetahuan dan teknologi, akan ditolak.
Hal yang menarik dicermati adalah dalam dunia modern sekalipun, suara penolakan juga terdengar. Artinya tidak semua orang yang hidup di dunia yang maju, lantas bisa menerima berbagai perkembangan ilmu pengetahuan yang berlipat untuk diterapkan secara nyata. Masih dianggap perlu ada batas untuk menjaga semuanya. Apatah lagi di dunia yang berkembang, yang sebagian proses kehidupannya ditentukan oleh banyak hal yang bagi masyarakat maju sebagai tidak masuk akal.
Entah bagaimana posisi kita. Namun di tengah hiruk-pikuk demikian, sebuah pendapat yang mungkin nyeleneh hadir. Secara sederhana, ada orang yang memrotes dengan kalimat yang lugas. Katanya, bukankah proses penyeimbangan manusia sedang diupayakan oleh orang-orang pandai yang kebetulan melupakan moral? Apa hal? Ternyata sekarang ini, jumlah korban manusia yang terbunuh, baik melalui perang, konflik, dan berbagai penyakit baik alamiah maupun penyebaran virus dengan sengaja, tidak terhitung jumlahnya. Lantas ketika ada proyek yang berhasil ternyata menyeimbangkan korban demikian, bagaimana kita akan menyikapinya?
Pendapat terakhir itu juga meresahkan, namun kita jadi memahami ada berbagai sudut ekstrem dalam kehidupan kita. Ketika ada ribuan yang mati dalam sekejap, ternyata berpeluang untuk dibangun jumlah yang sama sebagai pengganti. Pada posisi demikian, seperti melahirkan anggapan tidak perlu ada yang ditangisi atas banyaknya korban karena perilaku destruktif manusia. Toh, kini hadir dan manusia menemukan resep jitu untuk membiakkan secara instan, sehingga menjadi pengganti korban perilaku destruktif manusia itu.
Entah bagaimana cara menjelaskan betapa besar intervensi Pencipta untuk proyek manusia ini? Manusia harus sadar, nyawa manusia itu tidak bisa dihadirkan sendiri. Bukan seperti memilih telur yang sedang dieram induknya, jika ada yang busuk lalu dilempar ke tempat sampah begitu saja. Tentu manusia tidak boleh seperti itu.