Achmad Albar, penyanyi gaek, memiliki syair lagunya yang kontekstual. Katanya, dunia ini bagai panggung sandiwara. Tampilan seseorang bisa diatur bagaimana saat di depan, padahal tidak demikian ketika di belakang. Era modern, semuanya bisa dikondisikan.
Ada orang yang langsung terpesona hanya dengan melihat tampilan. Orang baru sadar saat tahu bagaimana yang sebenarnya. Terpesona yang tanpa pertimbangan mendalam, pada akhirnya akan menjerumuskan seseorang terhadap kondisi yang tidak diinginkan.
Ada satu pertanyaan menarik ketika sedang duduk di warung kopi dengan seorang tua di sebuah kampung pesisir. Di sini, orang membaca koran tiap pagi. Koran selalu tersedia di warung kopi dan itu dibaca oleh banyak orang. Bisa dibayangkan, satu lembar koran itu dibaca secara berulang oleh banyak orang mengunjungi warung kopi sejak dibuka pagi hari –umumnya warung kopi akan buka setelah shalat subuh di mushalla (dalam bahasa lokal dinamakan di meunasah). Dengan demikian ada dua tempat di sini yang terkait pelaksanaan shalat berjamaah, yaitu ada masjid dan ada meunasah. Tidak semua kampung ada masjid, karena terkait dengan pemahaman masyarakat di sini mengenai jumlah orang yang muqim yang wajib orang mendirikan jumat. Faktor shalat jumat inilah yang menjadi indikator akan adanya masjid, yang menyebabkan bahwa tidak semua tempat ada masjid.
Kondisi ini mungkin dalam kajian agama ada berbagai pendapat. Misalnya bagaimana dengan tempat yang jauh dari lokasi permukiman. Tentu dari segi jarak juga ada yang mempertimbangkan. Untuk lokasi yang dekat dan bisa dijangkau, mungkin tidak ada debat. Namun terkait dengan jarah yang jauh, yang dari segi tempat dan sarana transportasi yang sulit, juga menjadi masalah tersendiri.
Bukan tentang shalat jamaah dan shalat jumat, melainkan tentang keberadaan warung kopi yang dibuka setelah shalat subuh. Dari waktu ke waktu, orang yang menggunakan warung kopi sebagai ruang sosialisasi pun bertambah. Kepentingan awal yang hanya sekedar berjumpa dan menyeruput kopi, kemudian bergeser kepada ruang sosialisasi dan internalisasi. Akhir-akhir ini, warung kopi menjadi ruang untuk mendiskusikan banyak hal secara terbuka. Hal-hal yang berat hingga ringan turut dibicarakan di sini. Mereka yang berbicara tentang berbagai hal, juga tak terbatas pada orang kelas tertentu saja. Siapa pun yang ada di warung kopi boleh berpendapat apapun.
Kesan inilah, ketika duduk di warung kopi satu kampung pesisir, seorang tua juga mengekspresikan hal yang sama. Pertanyaan orang ini, mengapa banyak orang sering berganti pakaian dalam koran. Hari ini berpakaian olahraga, besok sudah berkopiah, lusa mungkin sudah bersafari. Bagi orang demikian, secara implisit mungkin tersimpan tanya, antara lain mengapa orang dengan cepat bisa berganti-ganti pakaian.
Inilah yang saya namakan dengan tampilan. Orang-orang yang memiliki banyak kepentingan, dengan mudah bisa berganti pakaiannya sendiri. Berganti tampilan tak sebatas hanya apa yang ada di tubuh, melainkan juga didukung oleh faktor mental. Seseorang yang ingin terlihat alim, karena kepentingannya ketika berada dalam golongan alim, akan memakai pakaian alim. Demikian juga ketika berada di lingkungan artis, maka pakaiannya juga mirip-mirip artis. Apalagi kondisi menjelang pemilihan umum daerah seperti ini, banyak orang yang sedang menjual diri dengan berganti tampilan setiap waktu. Sesuai dengan kepentingan.
Bagi orang kampung, tampilan tak sebatas pakaian. Bagi mereka yang lugu-lugu, tampilan harus disokong oleh mentalitas. Orang yang berpakaian tertentu, bukan karena kepentingan, melainkan memang kondisinya demikian adanya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.