Saya mendapatkan potret buram setelah magrib malam ini. Sehabis shalat di masjid persimpangan, saya ada kepentingan memangkas rambut, di sekitar pasar bawah jembatan. Tapi sepanjang jalan kiri-kanan berjejer warung kopi yang di dalamnya banyak pelanggan. Warung yang malu-malu, akan mematikan lampu. Tapi yang terang-terangan, dengan pelanggan yang berwarna-warni, tampak nyata begitu rupa. Saya boleh tidak curiga, dengan membangun pikir yang positif, bahwa mereka sudah menunaikan shalat. Tapi dimana tempatnya, dengan jumlah pengunjung yang berjibun. Saya tidak habis pikir bagaimana realitas semakin banyak orang yang terang-terangan memperlihatkan tidak menghormati cara beragama orang lokal.
Entah siapa yang akan menertibkan keadaan ini. Apakah masih bertumpu pada polisi syariah, yang dibentuk ketika Aceh dideklarasi menggunakan [atas nama] syariat. Lalu kalau bukan lembaga (struktur) yang bertugas itu yang melaksanakan, lantas siapa lagi? Tidak mungkin ditertibkan oleh orang yang berhak. Di sisi lain, sebagai orang Aceh, saya juga merasa malu karena yang diurusi oleh struktur yang menjalankan hukum syariah itu, masih belum berubah sejak hampir 20 tahun yang lalu. Masalahnya bagaimana bisa orang tidak berubah? Apa yang dilakukan oleh struktur dalam rentang waktu kehadirannya itu? Apakah boleh pertanyaan semacam ini dipertanyakan?
Seharusnya sesudah hampir 20 tahun berjalannya hukum syariah, kesadaran orang-orang sudah berubah dengan baik. Untuk ibadah saja tidak perlu lagi dikejar-kejar di ruang publik. Tapi, pertanyaan seperti tadi, mengapa nyatanya masih ditemui? Apakah ada yang kurang dalam pelaksanaan program-program selama ini? Apa yang dilakukan sehingga masalah yang sama dihadapi ketika awal struktur dibentuk dengan menjelang 20 tahun sesudahnya, yang dihadapi sama. Seharusnya ada refleksi untuk itu. Ingatlah orang-orang yang mendapatkan kepercayaan tapi jika tidak melaksanakan dengan maksimal, akan ada mahkamah yang akan mengadili kita nanti.
Itulah hal yang ingin saya pertanyakan. Pertanyaan ini bukan berarti tidak boleh ada pelanggan bagi warung-warung. Apalagi ekonomi menjadi faktor penting dalam membangun geliat di suatu daerah. Masalahnya adalah pada penghormatan terhadap cara beragama orang lokal, bahwa magrib idealnya orang akan shalat berjamaah. Jika pun tidak shalat, tidak terang-terangan memperlihatkan kepada orang lain sedang tidak melakukannya. Jika semacam itu, akan terlihat seperti kampanye agar orang lain juga melihat orang-orang yang tidak shalat santai-santai saja.
Fenomena yang saya lihat tadi, barangkali sudah dilihat orang lain berulang kali. Tadi, rencana awal, saya akan pangkas rambut setelah shalat ashar. Tapi ada kegiatan. Tiba-tiba harus menyelesaikan satu hal. Selain itu, ada kegiatan dari siang, menjadi juri duta baca Universitas Syiah Kuala, yang dilaksanakan Unit Pelaksana Teknis (UPT) Perpustakaan dan E-Learning. Hingga baru setelah magrib baru bisa ke tempat pangkas.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.