Peh Tem

SEBELUM masuk ke inti tulisan, saya ingin memperjelas dulu beberapa kata dan konteks penggunaannya. Dalam tulisan ini, saya menggunakan pèh (pukul) ketimbang sôh (tonjok, meninju –ada juga soh yang artinya kosong). Kata pèh (bukan péh; …

SEBELUM masuk ke inti tulisan, saya ingin memperjelas dulu beberapa kata dan konteks penggunaannya. Dalam tulisan ini, saya menggunakan pèh (pukul) ketimbang sôh (tonjok, meninju –ada juga soh yang artinya kosong). Kata pèh (bukan péh; giling) sepertinya lebih mengena.

Bila dihitung-hitung, kata pèh juga terasa lebih indah dipadukan dengan tèm (kaleng). Kata tèm tentu sangat berbeda dengan tém (mau).

Saya memberikan pendapat ini dengan menggunakan perasaan, bukan dengan pendekatan ilmu bahasa. Artinya tidak tertutup kemungkinan, apa yang saya sampaikan berbeda dengan kaidah ilmu bahasa (linguistic).

Dengan pengantar itu, saya menginginkan ada pemahaman terhadap tulisan, walau tidak berarti itu sepakat dengan apa yang saya tulis ini.

Cerita ini, berangkat dari sebuah peristiwa. Kadang-kadang, saya merasa geli, malu, gundah, gelisah, takut, bahkan geram yang bercampur-aduk saat mengingat peristiwa ini. Peristiwa hanya dengan satu model, tapi terjadi pada banyak orang. Setidaknya, saya sudah menyaksikan dan mendengar enam ‘orang penting’ yang merasakan peristiwa ini. Tidak tahu, berapa ‘orang yang tidak penting’ yang juga sudah pernah merasakannya.

Peristiwa itu adalah berkisah tentang kunjungan orang ke tempat undangan. Orang-orang yang datang ke undangan –Apa, Abuwa, Makcut, Makwa, Masyik, Abusyik, Polem, Cutma, dsb—tentu tak ada yang salah memenuhi undangan. Orang yang diundang ke tempat orang yang berhajat khanduri, secara sosial wajib hukumnya datang bila tidak ada sesuatu yang hal yang lebih penting lainnya. Maka ketika ada seseorang yang melaksanakan khanduri thon, walimah, dan hajatan lainnya, secara sosial akan berdosa bila kita tidak datang.

Yang haram memenuhi undangan adalah bila orang yang mengundang membuat khanduri dengan menu makanan haram dan minuman neraka. Tapi ini juga masih samar. Sepertinya juga haram memenuhi undangan khanduri bila mengetahui orang yang mengundang menyuguhkan kita dengan menu makanan yang didapat dari harta yang tidak benar.

Tapi lupakanlah dulu tentang makanan. Masalah undangan menjadi penting. Bukan pada lembaran undangannya yang harus luks atau berwarna-warni –bahkan seperti banyak undangan walimah di gampong kita yang mencetak pose-pose dahsyat yang dalam dunia modern ini seperti tidak masalah lagi. Padahal, fenomena itu bisa menjadi cermin dari kekeringan etika, bahkan agama.

Masalah undangan, juga bukan karena yang mengundang itu adalah orang-orang berada atau orang yang sedang ada sedikit kuasa. Bukan karena itu.

Anggap saja, undangan dalam konteks ini adalah seperti orang Aceh yang ketika meminta orang lain datang ke rumahnya, diberikan sebuah ranup (sirih) untuk dicicipi, sebagai pemanis kata, peu mameh haba.

Bisa juga, undangan ini dengan menitip pesan pada orang khusus yang datang ke tempat orang yang mau diundang. Bahkan menghadiri undangan yang bisa jadi dicetak pada selembar kertas HVS yang dibungkus dengan rapi dan bagus –yang bagi sebagian orang di zaman ini justru dianggap sebagai tidak etis.

Intinya, undangan wajib dihadiri. Ya seperti Apa, Abuwa, Makcut, Makwa, Masyik, Abusyik, Polem, Cutma, dsb yang datang memenuhi undangan bila diundang.

Bukan berarti semua orang terbebas dari kepentingan saat menghadiri undangan. Baik terang-terangan maupun tersembunyi. Dalam konteks ini, sudah bisa dibagi ke dalam tiga tipe. Pertama, orang-orang yang menghadiri undangan secara sukarela, ingin memperpanjang silaturrahim, ingin meusyedara dengan banyak orang, sehingga siapapun yang undang, orang yang bertipe ini, tidak akan segan-segan menghadirinya. Tidak pula memandang siapa pengundang: orang kecil atau orang besar dan orang ber-uang atau orang tidak ber-uang.

Kedua, orang yang hanya akan menghadiri undangan bila berpengaruh terhadap feedback bagi dirinya. Bila sesudah dianalisa, suatu undangan tidak bisa memberikan ‘umpan balik’, maka undangan ini tidak akan dipenuhi. Tidak masalah siapa yang mengundang. Bisa jadi yang mengundang orang miskin, tapi karena itu akan berpengaruh kepada orang yang bersangkutan, maka itu akan dihadiri. Dalam tipe ini, untuk menghadiri undangan dibutuhkan analisis terlebih dahulu.

Ketiga, orang yang menghadiri undangan pada tempat dan orang-orang tertentu semata. Orang semacam ini sangat mudah ditanda. Bila pada orang-orang yang berpengaruh yang mengundangnya, akan dihadiri lebih cepat dengan pakaian yang harus bisa menarik perhatian.

Tipe ketiga inilah yang menjadi sasaran tulisan saya ini. Seorang Apa saya, seorang politisi kampung, datang ke sebuah khanduri yang dilaksanakan seorang akademisi berpengaruh. Ia sedang melakukan walimah untuk anaknya.

Karena pengundang adalah orang yang berpengaruh, tentu yang datang adalah orang-orang yang berpengaruh pula. Jarang tampak wajah orang yang tidak berpengaruh di sana. Padahal bila terjadi sesuatu, biasanya orang yang tidak berpengaruhlah yang paling cepat tanggap dan membantu –seperti orang yang punya suara dalam pemilihan one man one vote, orang-orang yang memegang orang berpengaruh dan melupakan orang yang tidak berpengaruh, pasti akan kalah karena kedua golongan itu sama posisinya dengan satu suara.

Di tempat orang yang berpengaruh itulah, Apa saya –yang juga ingin menampakkan pengaruhnya. Wajarlah, seseorang yang ingin dilihat sebagai berpengaruh, akan menampakkan kehangatan dan gegap-gempita. Ia datang bersama isterinya, dibawa serta seorang anak gadisnya.

Dalam kumpulan itu, Apa berbicara panjang lebar dengan suara teratur –kadang rendah kadang tinggi, sesuai kebutuhan. Ia berada di sana, dengan gayanya itu, menghabiskan waktu sekitar satu jam. Kemudian ketika melihat isterinya sudah keluar, ia pun berdiri dari kursinya. Pertanda akan segera pulang.

Tak ada masalah, karena di dalam kantongnya sudah ada sebuah amplop lebar berwarna putih. Sambil menunggu istrinya, ia masih sempat pèh tèm kepada orang-orang sekitar. Sampai-sampai, pemilik rumah itu sesekali tersenyum menyaksikan Apa yang sedang pèh tèm.

Hati Apa lega, karena tuan rumah sudah menyaksikan ia sedang pèh tèm. Maka ketika isterinya sudah di depan mata, sungguh tak ada yang patut dirisaukan di belakangnya.

Tangan kanannya mengambil amplop dari kantong celana sebelah kanan. Lalu meminta pamit kepada tuan rumah sambil menyerahkan amplop itu secara langsung. Tak mau Apa masukkan ke kotak di sudut meja, karena dengan begitu ia ingin memberitahukan kepada pemilik rumah tentang kedatangannya dan jumlah isi amplopnya, tentu saja.

Perasaan senang dan lega. Lalu naik ke dalam mobil, berputar, dan kembali ke rumah. Di dalam mobil, karena ingin mengatur make up kembali, isteri membuka tas kecilnya. Sekilas ia heran, perihal kenapa suaminya yang tidak menyerahkan amplop untuk tuan rumah. Dibukanya, benar, amplop itu berisi sejumlah uang yang ingin disampaikan kepada pengundang.

Salah kasih amplop –yang dikasih kepada tuan rumah adalah amplop kosong. Saat itu, berkali-kali jiwanya melayang, ketika ingin membayangkan tuan rumah sendiri yang akan membuka amplopnya yang dikasih secara langsung –tak mau dimasukkan dalam kotak di sudut meja.

Rohnya, seperti runtuh. Ia sendiri yang berpikir bahwa telah melakukan pèh tèm soh di tempat yang seyogianya akan berpengaruh ke dalam kehidupan Apa di kemudian hari. Ya, seperti yang sudah dibayangkan Apa dengan sepenuh rasa bahagianya.

Leave a Comment