Pinokio

Tidak semua apa yang kita lihat di televisi itu menampilkan sesuatu yang asli. Sebagian besar yang ditampilkan adalah hasil solekan, dengan tata rias kehidupan yang semu, yang menggambarkan seolah-olah asli. Bahkan tayangan yang tampak asli, …

Tidak semua apa yang kita lihat di televisi itu menampilkan sesuatu yang asli. Sebagian besar yang ditampilkan adalah hasil solekan, dengan tata rias kehidupan yang semu, yang menggambarkan seolah-olah asli. Bahkan tayangan yang tampak asli, padahal tidak asli.

Suatu kali saya menikmati satu tayangan dialog yang ternyata pembicaraan di dalamnya tidak lebih dari skenario yang sudah disiapkan secara utuh. Mereka yang tampil di sana hanya pinokio. Para pembicara adalah utusan dari mereka yang di belakang layar, yang kepentingan sudah tercatat dan tergambar.

Di kali yang lain, saya menyaksikan bagaimana seorang kritis tiba-tiba menjadi penjilat, lalu tidak berapa lama, memperoleh jabatan komisaris dengan fasilitas yang bisa dibayangkan. Teman saya mengingatkan agar tidak boleh berburuk sangka.

Tetapi begitulah kehidupan yang ingin saya gambarkan. Semua memungkinkan untuk diatur oleh para sutradara dengan berbagai kepentingan di belakangnya. Bukankah pada saat itu, sesungguhnya manusia sedang tidak berada posisinya sebagai manusia?

Saya ingin menggambarkan hal lain. Banyak riset yang menggambarkan bahwa tayangan televisi itu berpengaruh terhadap perilaku para penontonnya. Sepertinya apa yang ditayangkan dalam televisi akan menjadi pemandu bagi sebagian penonton –terutama penonton yang menganggap apa yang ada dalam televisi sebagai patron perilaku. Banyak orang yang sudah berkiblat ke televisi, yang tidak boleh meninggalkan sejumlah tayangan didalamnya dibandingkan dengan melakukan hal yang lain yang lebih penting.

Dalam melihat tayangan juga akan berimbas kepada keteladanan. Seorang tua yang mengharapkan anaknya agar melakukan hal yang baik, justru yang terjadi sebaliknya ketika menyuruh anak melakukan sesuatu akan tetapi orang tua berada di depan televisi. Orang tua kerap menyuruh anak kecil untuk melakukan hal yang diinginkan, sementara orang tua tidak dapat meninggalkan tontotan ketika menyuruh anaknya melakukan hal-hal yang penting tersebut.

Kondisi ini tidak berlangsung begitu saja. Para pelaku seperti berlomba untuk menciptakan tontotan baru yang bisa membodohkan penontonnya. Semakin banyak orang yang bodoh dan menerima apa adanya yang ditayangkan, maka tontotan demikian dianggap sebagai berhasil. Sebaliknya, tontotan yang berkualitas baik justru ditinggalkan dan dikesankan sebagai tontotan yang tidak layak.

Begitulah. Dalam dunia hiburan, orang yang masuk televisi begitu dianggap penting. Orang-orang yang masuk televisi, entah dibayar atau membayar, dalam waktu yang tidak lama, lalu akan menjadi primadona baru bagi masyarakat sekelilingnya. Apalagi orang yang sengaja mendatangkan para pemuja, dibayar dan dikumpulkan hanya untuk meneriakkan namanya ketika sedang berada dalam kerumunan. Tidak bisa dibayangkan ketika orang yang dibayar, masuk televisi secara gratis, makanya mau melakukan apapun yang diminta oleh mereka yang membayar. Sangat menyedihkan.

Begitu ampuhnya mempercepat mengenalkan diri melalui televisi, sehingga orang-orang yang dulunya terkenal, saat sedang redup dalam peredaran, melakukan hal-hal negatif pun mau dilakukan asal bisa masuk televisi. Orang yang ingin menjadi penyanyi atau pemain sinetron akan tak jarang akan mau melakukan apapun demi keinginan itu.

Ketika tayangan menjadi patron, maka hal yang harus diperhatikan adalah dampaknya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang. Ketika ia berpotensi untuk ditiru, seharusnya apapun yang ditayangkan, juga sudah dipertimbangkan baik-buruknya. Namun adakah yang peduli? Jangan-jangan hanya sedikit yang menaruh harapan baik bagi penontonnya. Dengan menghadirkan dampak, maka implikasi dahsyat yang akan menimpa sebagai sesuatu yang sulit untuk dibayangkan.

Tayangan tentang perilaku kriminal yang mengupas hingga seluk-beluknya dan ditayangkan dengan tanpa saringan, akan membuat jenis kriminal yang sama semakin banyak. Korban mutilasi akan berlipat ketika kasus-kasus mutilasi diberikan dengan terang-benderang. Entah alasan apa yang dijadikan televisi dalam mengupas segala sesuatu dengan jelas. Perilaku yang mengulangi dari apa yang pernah ditayangkan, jika sudah terjadi, maka seharusnya tontonan itu sudah harus benar-benar disaring sebelum ditayangkan untuk publik.

Saya hanya menyarankan, marilah kita kembali menjadi manusia, dengan tugas-tugas kemanusiaan dan bermisi sebagai manusia.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment