Saat membahas plagiat dalam kelas menulis, ada dua pertanyaan yang selalu saya tanyakan. Pertama, apakah plagiat itu hukum atau etik? Kedua, apakah ia bisa disembunyikan oleh para pelakunya? Sebelum menyelesaikan materi, saya selalu mendapatkan tanggapan dari para peserta. Jawabannya bisa berbeda. Bahkan latar belakang peserta sangat menentukan bagaimana mereka memandang isu ini. Sebagian dosen akan menganggap plagiat ini hanya sebatas etik. Sebagian lagi menyebut tidak mungkin melupakan hukum karena pada akhirnya yang etik itu mesti dikongkretnya wujudnya. Sedangkan peserta dari mahasiswa, sering menganggap sepenuhnya plagiat itu soal hukum yang sanksinya dapat ditemukan dalam berbagai kebijakan terkait yang dilahirkan.
Sesuai dengan materi kelas menulis, bahasan tentang plagiat ini selalu saya bahas. Saya tahu bahwa tidak semua pengampu kelas menulis merasa penting isu yang sangat penting ini. Saya menganggap isu ini bukan sesuatu yang dapat ditawar-tawar. Ia bisa dimanipulasi dengan baik bagi yang perlu melakukannya. Ada berbagai keperluan memungkinkan seseorang melakukan manipulasi. Secara verbal, orang akan tegas menolak sesuatu yang bukan miliknya. Tapi banyak orang tergoda dan seolah tidak bisa mengelak untuk turut ke dalamnya. Tak heran orang-orang besar dan bergelar tinggi pun, memungkinkan melakukan perbuatan ini. Bahkan sejumlah kasus, guru besar juga terlibat dalam plagiat.
Secara moral, perbuatan ini jelas tidak boleh dilakukan. Perbuatan ini dalam dunia keilmuan akan dianggap hina, makanya diminta untuk dihindari sekeras mungkin. Moral dalam makna etik dimaksudkan sebagai ruang untuk menjaga moralitas akademik dan keilmuan. Etika yang dimaksudkan di sini adalah nilai mengenai salah yang dianut suatu masyarakat. Sedangkan makna istilah moral, jika merujuk pada kamus, sebagai ajaran baik buruk yang diterima umum mengenai perbuatan, sikap, kewajiban, dsb; akhlak. Moralitas akademik, karena dikaitkan dengan konteks akademik sebagai perkumpulan orang yang dianggap bijaksana untuk memajukan ilmu. Itulah alasannya mengapa perbuatan ditolak karena mencerminkan wujud dari apa yang dianggap bermoral itu.
Masalahnya adalah sepanjang perkembangan keilmuan, ia terjadi. Jika pertanyaan apakah ia bisa disembunyikan, jawabannya tentu bukan sesuatu yang rumit. Berbagai mesin pendeteksi kesamaan, jika digunakan secara negatif, memungkinkan dijadikan alat bantu untuk mengubah substansi yang dianggap sama dengan karya orang lain. Orang-orang hanya akan berusaha membedakan saja, tanpa secara substansi mengakui apakah sesuatu itu diambil dari orang lain atau miliknya sendiri. Berangkat dari kondisi ini, maka moral(itas) menjadi kekayaan penting untuk menolak hal ini. Seorang penulis akan mampu mendeteksi apakah sesuatu itu miliknya atau bukan. Jika mendapatkan sesuatu itu miliki orang lain, ia akan berikan kutipan yang layak, walau itu hanya sebatas ide dari yang bukan berasal dari isi kepalanya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.