Saya sudah menyebut beberapa kali, bahwa preman besar tidak selalu dikalahkan oleh preman besar lain yang setara. Tidak sedikit mereka yang ditakuti justru takluk di tangan mereka yang kecil. Orang-orang yang terpojok dan terzalimi, bisa memiliki kekuatan super yang tidak bisa diperkirakan.
Lihatlah bagaimana saat kita terpojok karena dikejar binatang gila, energi yang kita keluarkan melebihi dari biasanya. Energi itu bisa saja berlipat ukurannya, dari standar normal.
Saya ingin mengulangi lagi fenomena ini, bahwa tidak semua pelaku kekerasan itu bermentalitas kokoh. Ada waktu tertentu mereka garang, namun pada waktu yang lain, mereka lebih lemah dari yang lain. Ada berbagai faktor. Maka pada kondisi tertentu, terutama ketika mereka ditemukan warga yang diamuk amarah, mereka juga akan kecut. Pada kondisi demikian, tidak semua mereka siap dengan risiko yang akan dihadapi. Mereka seolah ingin diberi banyak pilihan pada posisi yang demikian.
Ada sejumlah berita yang menggambarkan bagaimana pelaku kekerasan itu dikerasi oleh mereka yang pernah menjadi korban. Seorang pencopet yang kedapatan di tengah pasar, lalu dikerumuni dan digebuk secara massal. Kondisi demikian sering terjadi. Hanya saja kesan kelas juga tampak. Maksud kelas di sini tak semua soal posisi, akan tetapi juga kondisi. Orang yang berkelas (strata) atas, apabila ditemukan dalam kondisi seperti yang dialami pencopet kelas teri, mungkin hal yang akan dihadapi juga akan sama. Hanya kebetulan mereka berada dan dikelilingi banyak orang.
Mungkin maksud perbedaan perlakuan adalah pada posisi yang demikian. Sering pelaku kejahatan kelas atas, berada pada posisi menguntungkan karena dikelilingi banyak orang. Sedangkan untuk mereka yang kelas teri, mereka hanya beberapa orang. Gerombolan mereka juga dilakukan secara bersama-sama. Membedakan antara pelaku kelas atas dan kelas bawah juga satu hal. Disebut kelas atas karena memang kejahatan yang mereka lakukan berkelas. Dengan pola tertentu menghasilkan nilai dan harga yang luar biasa, yang hal demikian tidak bisa dilakukan oleh mereka yang kelas teri.
Itulah kesan yang saya tangkap. Lalu, tak terduga, saya membuka sebuah berita online tentang dua orang yang melakukan perampokan disertai dengan ancaman kekerasan pada suatu rumah. Bahkan kabarnya, perampok sempat menyandera lima orang yang sedang berada di dalam rumah. Perampokan dan penyanderaan itu tak lama terendus oleh polisi dan dalam waktu singkat, polisi berhasil mengepung rumah tersebut. Tahukah apa yang terjadi setelah itu? Para perampok, ketika mengetahui bahwa posisi mereka sudah dikepung polisi, mereka sebagai pelaku menangis. Bagi saya, perilaku mereka itu tidak seperti yang dibayangkan, bahwa pelaku kejahatan ternyata juga penakut. Orang membayangkan bahwa mereka yang melakukan kejahatan bukanlah orang yang penakut.
Berita tersebut menampakkan kebalikan dari kesan yang ditangkap banyak orang. Kesan ini yang selama ini sebagai sesuatu yang diterima umum dalam masyarakat kita. Hal lain yang juga menarik. Di bawah berita online, ada permintaan tanggapan dari pembaca berita untuk menilai. Ada sejumlah orang yang memberi penilaian terhadap berita itu. Dan hasilnya adalah 67 persen menganggap berita itu lucu. Hanya 17 persen yang mengemukakan marah, dan 17 persen lagi menyatakan sedih.
Dengan fenomena ini, seharusnya kita saling menjaga diri. Tidak berlebihan karena apa yang tampak berlebihan belum tentu aslinya begitu. Dengan saling mengingatkan, memudahkan kita saling berbuat baik.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.