Dalam satu pertemuan kelas menulis, seorang peserta menanyakan hal yang menurut saya tidak istimewa: “apakah seorang profesor itu bisa melakukan plagiat?” Pertanyaan ini sebenarnya biasa saja. Tapi karena sasaran yang ingin dilihat adalah profesor, maka ia menjadi penting. Merujuk pada kamus, yang dimaksud dengan profesor adalah pangkat dosen tertinggi di perguruan tinggi. Profesor sama dengan guru besar atau mahaguru. Karena ia sebagai ujung dari semua jabatan di kampus, maka mencapai derajat ini pun pasti dengan susah payah. Tentu tidak semua orang bisa mencapainya dengan mudah. Gelar itu diperoleh dengan perjuangan yang barangkali tidak kenal lelah.
Menanggapi pertanyaan peserta kelas menulis, saya jawab dengan melakukan riset berita media. Hal ini saya lakukan untuk kepentingan kelas menulis. Setiap semester, selalu ada kelas menulis yang saya buka. Ada juga yang meminta secara khusus. Jadi riset yang saya lakukan, untuk kepentingan itu dan ternyata rata-rata perilaku plagiat yang menjadi masalah dan mengemuka, justru yang dilakukan oleh sejumlah profesor atau pada calon profesor. Tidak hanya para profesor, perilaku ini juga terdeteksi dilakukan oleh sejumlah orang yang sedang berjuang untuk mendapat gelar ini. Asumsi subjektif saya, bisa jadi karena perilaku plagiat dilakukan orang biasa tidak terlalu berpengaruh untuk diungkap. Sedangkan mereka yang pada derajat ini, ketahuan melakukan plagiat bisa menjadi satu berita besar.
Saya tidak melihat lebih dalam, gambaran ini hanya untuk menjawab pertanyaan “apakah seorang profesor itu bisa melakukan plagiat?” Jawabannya, tentu bisa saja. Dengan berbagai bentuk dan pola. Bukan hanya sejumlah orang yang bergelar profesor saja, ternyata perilaku plagiat ini juga dilakukan sejumlah orang yang sedang menjabat sebagai pimpinan kampus (rektor maupun wakil rektor). Pada satu waktu, seorang calon rektor juga termasuk kategori ini. Khususnya self-plagiarism. Dalam rapat-rapat pembuktian, plagiat ini diakui terjadi bukan karena keinginannya, melainkan sesuatu yang dilakukan atas dasar kreasi bawahannya.
Bukankah plagiat itu tidak kenal sengaja atau tidak? Ketika suatu plagiat terjadi, mau sengaja atau tidak, seseorang bisa digolongkan sebagai plagiat. Bukankah plagiat juga tidak kenal karya orang lain atau karya sendiri? Ketika suatu plagiat terjadi, bisa saja atas karya orang lain bahkan atas karya diri sendiri. Dengan demikian, semua orang berpotensi melakukan plagiat, pun berpotensi tidak melakukannya. Tidak diukur apakah karena seseorang sudah mencapai derajat tertinggi, lantas tidak ada dari kategori itu melakukan plagiat –sebagai perbuatan kotor ini. Dalam dunia akademis, plagiat adalah perilaku amoral yang seharusnya dijauhi oleh semua orang dalam komunitas itu. Kenyataannya setiap zaman, perulangan selalu saja terjadi. Orang-orang yang berada dalam kategori yang tidak kita bayangkan terlibat perilaku ini, kadang-kadang dalam realitas terlihat sebagai pelaku utama.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.