Tidak semua orang menggeluti profesi dengan dasar keterpaksaan. Semua orang membutuhkan bayaran, namun lain cerita ketika itu dilakukan dengan penuh kebahagiaan. Orang-orang yang mengejar setoran tidak dengan perasaan bahagia, berpeluang mendapatkan luka batin yang berlipat.
Manusia memiliki ketergantungan, sekaligus keseyogiaan interaksi dengan orang lain di sekitarnya. Kebahagiaan dalam menjalani hidup sangat ditentukan oleh bagaimana orang-orang menjalaninya dengan nyaman.
Saya ingat suatu hari saat masih mahasiswa. Ketika pulang seminar tentang maritim terorisme di aula fakultas, di dalam angkot –angkutan kota—saya berkenalan dengan sopir angkot itu. Umurnya sekitar 50-an, dengan rambut di kepala yang sudah setengah berwarna putih. Saya penumpang pertama yang naik, dengan suhu udara sekitar 38 derajat. Sebenarnya ada bus lain yang sedang menunggu penumpang, hanya karena saya dekat lebih memilih naik angkot saja. Apalagi penumpang angkot juga sangat jarang. Rata-rata kita lihat di jalan, angkot kosong. Penyebabnya berbagai macam. Bisa jadi karena pertambahan kendaraan roda dua yang signifikan, sehingga kadang-kadang di rumah gubuk pun, terheran-heran melihat ada satu atau dua kendaraan roda dua.
Begitulah, waktu itu. Pagi saya dari rumah, untuk ke kampus saya harus naik tiga angkot. Ada bus tanggung yang lewat jalur ini, dan hanya sekali naik. Akan tetapi selama saya di sini, menunggu bus itu untuk ke kampus atas, jarang sekali berpapasan. Pernah menunggu hampir satu jam, tak juga melintas. Ketika tidak menunggu, beberapa kali terlihat. Makanya pilihan kedua, adalah angkot, yang rutenya jarak-pendek. Dengan jarak yang hanya sembilan kilometer saja, harus berganti tiga kali angkot. Begitu juga ketika pulang, mencoba menunggu 15 menit bus, tak tampak, lantas memilih yang kedua, angkot.
Saat pulang pada ganti ketiga inilah, saya berkenalan dengan sopir ini. Sudah bisa dibayangkan tentu, ini perkenalan yang tidak direncanakan. Karena menjadi penumpang pertama, lantas harus menunggu lebih lama. Sopir ini sendiri membawa angkot orang lain. Ia hanya menerima sejumlah sisa dari senilai tertentu yang wajib disetor kepada yang punya angkot. Dengan jumlah penumpang yang demikian, sulit rasanya ia bisa hidup mapan secara materi. Apalagi ia memiliki berbagai pertimbangan lain. Saya sebenarnya merasa gerah di dalam angkot, namun merasa tak enak juga turun dan naik angkot lain. Ketika sedang menunggu itulah, naik tiga anak sekolah menengah pertama. Ketiganya perempuan. Mereka tak kalah berkeringat dibandingkan saya.
Setelah tiga anak itu naik, penumpang yang lain tidak terlihat. Akhirnya sopoir memilih untuk berangkat. Ketiga anak itu turun tak jauh dari tempat mangkal angkot. Saya tidak tahu mengapa biasanya anak-anak sekolah itu, yang megang uang untuk bayar itu selalu turun paling belakang. Saya sudah lihat beberapa kali. Anak yang di samping saya juga demikian. Ketika turun ketiganya, anak terakhirlah yang membayar, dengan harga Rp 2.000. Ongkos sebenarnya untuk siswa, jauh dekat Rp 2.000 per orang. Tetapi ketika tiga anak membayar Rp 2.000, saya lihat muka sopir tak berubah. Ia malah tak melihat dan langsung meletakkan di atas spidometer angkotnya. Saya tahu ketika saya minta lihat jumlahnya. Saya tanya sama sopir mengenai ongkos. Sopir justru tak ambil pusing. Menurutnya, rezeki itu masuk melalui berbagai jalan. Selama ini, walau penumpang jarang, katanya setoran juga selalu cukup, walau untuk dibawa pulang kepada keluarga sangat sedikit. Apalagi, katanya, untuk mereka yang sedang menuntut ilmu, tidak masalah mereka bayar berapa yang ada. Ia yakin, selalu akan balasan lain baginya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.