Rezim

Pernahkah kita menghitung-hitung, dalam negara seperti halnya negara kita, seberapa banyak rakyat diperlakukan secara tidak semestinya? Sejak dari awal merdeka, mungkin sudah tidak terhitung. Memperlakukan tergantung rezim, dimana rezim yang satu belum tentu setuju perlakuan …

Pernahkah kita menghitung-hitung, dalam negara seperti halnya negara kita, seberapa banyak rakyat diperlakukan secara tidak semestinya? Sejak dari awal merdeka, mungkin sudah tidak terhitung. Memperlakukan tergantung rezim, dimana rezim yang satu belum tentu setuju perlakuan rezim yang lain. Dengan demikian apa yang dilakukan pada era pemerintahan tertentu, belum tentu disetujui oleh mereka yang akan menjadi pemerintahan pada era yang lain.

Kondisi ini yang memungkinkan perubahan sumber daya yang duduk di pemerintahan. Tidak jarang berbagai isu yang terjadi, dijadikan alat untuk mendapatkan kekuasaan. Namun demikian, tidak jarang juga terjadi pola yang berbeda atas apa yang dilakukan era kemudian.

Mereka yang mengkaji bagaimana perubahan kekuasaan, mencatat betapa kadangkala rezim bengis menguasai pemerintahan. Pada era yang lain, ketika berganti, kadang-kadang pola yang bermaksud sama, tidak dihilangkan, hanya saja dalam bentuk yang sedikit berbeda.

Apa yang menyebabkan perlakuan terhadap rakyat bisa berlangsung di luar konsep keberadaan negara yang ideal? Mereka yang melihat realitas, akan menyatakan bahwa faktor ketakutan hilang kuasa sebagai salah satunya. Mereka yang mempertahankan kekuasaan dengan berbagai cara, disebabkan ketakutan akan hilangnya kekuasaan yang ada di tangan mereka.

Berbagai teori dan konsep kemudian dihadirkan kaum cerdik-pandai, yang intinya mengingatkan pemegang kekuasaan untuk menjadikan jiwa rakyatnya sebagai ukuran. Kekuasaan akan terjaga sekiranya jiwa rakyat yang memilihnya dijaga sedemikian rupa.

Korelasi semacam ini yang selalu diingatkan, ujungnya rakyat sebagai pemilik semua tidak diperlakukan tidak sebagaimana mestinya. Mereka yang memegang jabatan harus melihat bahwa ujung semua kepentingan adalah rakyat yang memilih mereka itu.

Ingatan ini yang sangat penting untuk selalu diingatkan. Apalagi di daerah kita yang memiliki sejarah panjang sejumlah kasus yang menyakitkan. Harus dipahami bahwa apa yang terjadi tidak mudah terhapus dalam ingatan. Semoga ia tidak berulang pada masa yang akan datang.

Merawat ingatan untuk kepentingan mulia, sepertinya harus dilakukan. Terutama kepentingan agar tidak terjadi lagi hal yang menghinakan kemanusiaan. Istilah melawan lupa bukan untuk membangkitkan kemarahan, melainkan menanamkan kesadaran agar semua hal yang membuat hina manusia dan kemanusiaan harus dijauhi.

Ingatan ini yang selalu saya rekam saat mendapatkan pesan dalam rangka memperingati kejadian tertentu. Terutama kejadian-kejadian rakyat yang berhadapan dengan alat negara. Namun rakyat tersebut dihadapi oleh alat negara dengan kekuatan senjata.

Tahun ini saya juga mendapat pesan yang sama. Setidaknya ada enam status yang saya baca. Tidak banyak, setidaknya bila dibandingkan dengan jumlah teman saya. Mungkin hal ini memang kurang menarik perhatian, bisa dengan berbagai sebab. Apalagi berhadapan dengan usaha untuk terus mengingatkan penguasa agar selalu menjadikan rakyat sebagai darah daging dari mereka sendiri. Rakyat tidak dianggap sebagai bagian yang terpisahkan dari posisi mereka. Apabila posisi yang disebut terakhir diiyakan, maka yang ada di benak selalu perasaan curiga dan tak mau tahu dengan apa yang disampaikan oleh rakyatnya. Saya ingin mengingat hal ini dalam perspektif lain, mengenai bagaimana mereka yang berkuasa harus menganggap rakyatnya sebagai bagian dari darah daging bangsa.

Pertanyaannya adalah seberapa dalamkah kita berpikir rakyat sebagai darah daging? Apakah semua penguasa menganggap rakyat sebagai orang penting, sehingga selalu harus dilayani dengan baik? Ternyata tidak. Karena menganggap rakyat sering tidak semestinya, maka apapun memungkinkan dirasakan orang banyak. Tidak jarang, orang banyak itu hanya merasakan kenikmatan dari pengakuan pelayanan ketika mau dilakukan pemungutan suara. Pada waktu itu, dari mereka yang antre ingin menjadi penguasa, selalu mengucap keinginan untuk melayani, bukan dilayani. Istilah melayani dan bukan dilayani, sebenarnya mencerminkan akan keinginan untuk berbuat lebih.

Maka posisi mereka yang menjadi penguasa, pada dasarnya mereka yang akan melayani, bukan untuk dilayani. Orang-orang yang akan melayani, tidak takut apapun dengan orang banyak. Dengan menganggap bahwa orang banyak sebagai bagian tak terpisahkan dari darah daging bangsa, maka sepahit apapun kegelisahan dan kegundahan mereka, akan diterima dengan lapang dada. Ketika rakyat menyampaikan curahan hati, selalu dipandang sebagai ruang bagi mereka yang berkuasa dalam memperbesar pahala. Bukan sebaliknya, ketika rakyat datang, penguasa justru takut pada rakyatnya.

Model penguasa yang ingin melayani, selalu membuka pintu lebar-lebar ketika ada rakyat yang ingin menyampaikan masalahnya. Rumah disediakan halaman yang lebar dengan tempat duduk yang banyak, juga menyediakan banyak kesempatan untuk bisa berbicara langsung dari hati ke hati. Permasalahan penting juga didengar dengan perhatian yang penting, bukan melalui orang lain yang justru tidak ada hubungannya. Sesuatu yang penting juga harus direspons dengan hal yang penting juga, tidak boleh ditunda-tunda.

Begitulah seyogianya orang-orang yang melaksanakan kekuasaan. Harus menggerakkan jiwa dalam melaksanakan tugasnya. Dengan jiwa dan hati akan memperlakukan rakyat sebagaimana mestinya.

Semoga tidak ada lagi perilaku penguasa yang bisa menyakiti rakyatnya sekecil apapun. Mudah-mudahan akan hadir penguasa yang berisi orang-orang yang selalu merasa bahwa rakyat adalah bagian terpenting dari darah daging bangsanya.

Leave a Comment