Sampah

Tadi saat ke tempat sampat, mendapatkan empat anak usia sekolah. Saya ingin beri catatan sejumlah hal. Pertama, sampah menjadi problem serius di banyak tempat. Utamanya terkait perilaku. Saya melihat banyak tempat yang bertuliskan “dilarang buang …

Tadi saat ke tempat sampat, mendapatkan empat anak usia sekolah. Saya ingin beri catatan sejumlah hal. Pertama, sampah menjadi problem serius di banyak tempat. Utamanya terkait perilaku. Saya melihat banyak tempat yang bertuliskan “dilarang buang sampah di sini”, justru menjadi tempat paling sering dititipi sampah. Sejumlah pagi, saat saya olah raga, melihat hal yang penting: orang yang saya kagumi dari peran sosialnya dalam masyarakat, ternyata tidak terpuji dalam membuang sampah. Mereka meletakkan sampah sembarang tempat. Bahkan di tempat tadi, yang bertuliskan dilarang buang sampah di tempat itu. Dengan kantong besar, sampah itu dibuang dengan tanpa beban.

Di jalan saya menuju kampus, pinggir jalan, yang sebenarnya tidak jauh dari tempat itu, ada rumah-rumah penduduk, orang-orang masih tega buang sampah. Saya mengamati tempat itu, sebelum dibersihkan, selalu sampah bertumpuk. Orang sepertinya sengaja buang sampah di tempat itu. Sayangnya sampah itu juga dibuang dari pemilik mobil mewah yang lewat. Karena dekat kampus, saya menduga jangan-jangan yang buang sampah di tempat itu juga ada dari profesi kaum terdidik. Pokoknya tiap hari sampah menumpuk –dan kadang-kadang ada orang yang membakarnya dengan inisiatif sendiri. Mungkin karena ada yang bakar dan terkesan akan bersih, besoknya bertumpuk lagi tumpukan sampah.

Sesungguhnya di kampus juga ada gerakan membuang sampah pada tempatnya. Ada kelompok kaum terdidik juga menjadi bagian dari gerakan  untuk membersihkan sampah, dan mengurangi penggunaan sampah plastic –yang dipandang sebagai bahan-bahan yang akan mengancam kehidupan manusia kelak. Ada yang menamakannya dengan bank sampah. Mereka menampung sampah plastik dan sampah lainnya dengan kompensasi yang menarik. Sejumlah hadiah disediakan dari hasil proses yang mereka jalankan.

Kedua, di tempat saya buang sampah, dekat jembatan Lamnyong, sering saya temui anak-anak. Karena tadi agak sepi, sejumlah anak-anak mendekati saya. Tidak secara langsung mereka minta uang. Saya lihat, dari empat anak, hanya satu yang berani bilang ianya belum makan. Dengan keadaan sedikit sepi, saya tanya satu persatu kampung mereka. Ada anak dari Jawa. Satu anak dari Pidie. Dua lagi dari pinggiran Banda Aceh. Mereka tidak sekolah. Perilaku mereka apa adanya. Kebetulan saya memiliki beberapa lembar dua ribuan. Mereka menerimanya juga dengan tangan kiri.

Saya takut suatu saat, anak-anak ini akan dikelola secara tidak baik. Anak-anak yang seharusnya mendapat sesuatu yang menjadi haknya. Saya terbayang bagaimana saya membawa sampah dari rumah ke sini walau hanya satu kardus kecil, dibandingkan sampah-sampah lain yang dilempar begitu saja oleh orang-orang di pinggir jalan. Anak-anak ini, di satu sisi berusaha membantu orang-orang yang membuang sampah. Saat itu pula mereka berusaha meminta atau mendapatkan kompensasi. Di sisi lain, masa depan mereka siapa yang akan memikirkan? Jangan sampai suatu saat, masalah mereka sama seperti rumitnya mengelola mental dalam membuang sampah.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment