Saat menyebut kata bahagia, ada berbagai tafsir yang ditangkap dari kata ini. Belum lagi pertanyaan terkait bagaimana bahagia itu diraih oleh manusia. Bahagia tidak terlepas dari rasa. Apa yang dirasakan dalam kehidupan manusia, juga tidak terlepas dari bagaimana seseorang itu menjalani hidupnya.
Pertanyaan yang lebih jauh, mengenai bagaimana kebahagiaan diraih, juga banyak jawaban. Mereka yang mengira kebahagiaan itu materi, menganggap bahwa pencapaiannya pun harus dengan proses-proses yang berbasis materi.
Sebagaimana sudah diungkapkan pada hari-hari sebelumnya, bahwa apa yang disebut dengan kebahagiaan itu tidak hanya ketika seseorang sedang di dunia, melainkan juga ketika di akhirat. Seseorang selalu berdoa agar memperoleh dua-dua kebahagiaan, baik di dunia, lebih-lebih ketika sudah di akhirat. Dengan demikian, melakukan persiapan dalam rangka menggapai kedua kebahagiaan tersebut, juga harus dilakukan secara bersahaja. Baik kebahagiaan di dunia, maupun kebahagiaan di akhirat, harus persiapkan sedemikian rupa.
Sekali lagi bahwa kebahagiaan itu tidak ditentukan oleh materi. Makanya ketika orang melakukan persiapan untuk mendapatkan kebahagiaan dunia, tidak tertuju kepada bagaimana orang itu memperoleh materi. Orang membutuhkan materi untuk menopang hidupnya, namun hidup bukan untuk materi. Makanya orang tidak boleh terjebak ketika disebut kebahagiaan dunia, selalu terbayang memiliki mobil yang mahal, rumah yang mewah, dengan berbagai fasilitas dan kuasa yang harus didapatkan. Tidak demikian. Banyak orang yang memiliki rumah megah, memiliki mobil mewah dan mahal dengan jumlah beberapa, tidak menjamin akan memperoleh bahagia.
Suasana bahagia adalah berbicara soal rasa senang. Seseorang yang melakukan apapun menimbulkan perasaan senang, itulah puncaknya. Rasa senang yang berada dalam bingkai yang diridhai oleh Allah. Bukan rasa senang yang diciptakan dengan cara tertentu manusia. Rasa senang yang dimaksud, kemudian berkorelasi dengan masa depan manusia. Orang yang semakin senang ketika berbuat baik, maka jalan kehidupan ruhaninya semakin mantap. Ketika memiliki secuil materi, tidak teringat-ingat saat memberikan sebagian kecil untuk orang-orang miskin di sekitarnya. Menunaikan zakat bukan karena ingin kampanye dan meraih kuasa dunia. Demikian pula ketika membantu membangun rumah ibadah, bukan karena ingin status sosialnya meningkat dalam masyarakat.
Justru orang makin terbelenggu ketika melakukan sesuatu karena kepentingan tertentu –bukan karena kepentingan kebahagiaan. Di sini, sesuatu yang dilakukan di dunia, pada dasarnya juga terkait dengan target kebahagiaan di akhirat kelak. Orang-orang yang bahagia melakukan di dunia, akan berpeluang untuk mencapainya di akhirat. Sebaliknya, orang yang dibelenggu oleh berbagai keinginan dan kepentingan, justru materi itu yang akan bersaksi tentang ketidakikhlasan seseorang untuk memperoleh kebahagiaan akhirat.
Harapan inilah yang harus dipersiapkan. Ada kesaling-kaitan antara kebutuhan di dunia dengan tujuan hidup di akhirat. Orang-orang yang tidak yakin akan adanya pertanggungjawaban apapun yang kita lakukan di akhirat nanti, maka ia tidak akan memperoleh apa-apa. Sekecil apapun perbuatan baik atau pun buruk, tetap ada ganjarannya. Dan itu tegas sekali diperingatkan oleh Allah kepada manusia.
Bukankah ganjaran yang diidam-idamkan oleh manusia berupa tercapainya kebahagiaan, baik ketika seseorang hidup di dunia, lebih-lebih ketika ia sudah berada di akhirat?
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.