Serakah tidak dimiliki semua orang. Mereka yang sedang memiliki kuasa politik di tangannya, tidak semua mau menggunakannya untuk menumpuk sesuatu kepada pribadi dan keluarganya. Sebagian ada yang mau mengambil sedikit. Jumlah yang paling banyak, justru mencari kesempatan agar bisa mendapatkan apa yang diinginkan.
Orang mengejar kuasa karena banyak fasilitas di dalamnya. Mereka akan mendapatkan berbagai tunjangan, yang mungkin sebagian miskin tidak bisa membayangkannya. Dengan berbagai tunjangan inilah, membuat orang berlomba-lomba untuk mendapatkan kuasa. Berbagai jalan diupayakan. Termasuk bermain-main dengan jalan belakang.
Untuk alasan inilah, generasi harus berusaha memperbaikinya pada masa depan. Memperbanyak orang-orang yang berkomitmen ke arah yang baik. Tidak menjadikan kuasa di tangannya untuk memudahkan diri dan keluarganya. Tidak pula karena kuasa yang ada, menggunakan tenaga para orang pandai agar hukum bisa dibelokkan.
Dalam satu kesempatan duduk ngopi sore bersama sambil berdiskusi dengan sesama orang yang pernah belajar hukum, lahir salah satu sentil. Waktu itu, langit sedang mendung, dan kami duduk di meja paling depan kedai, yang hanya ditutupi kanopi seadanya.
Ada di antara kami yang menanyakan, apakah hukum bisa menjadi alat untuk melegalkan keserakahan. Entah mengapa, waktu itu, berlima kami, menjawab serentak bisa. Hukum bisa menjadi alat mereka yang serakah.
Lalu saya melihat pertanyaan serupa muncul di status seorang teman. Dengan kata-kata yang lebih menohok, ia berkata: mohon maaf, hukum sudah menjadi alat gembala bagi mereka yang mau melakukannya. Bagi orang-orang seperti ini, melihat hukum yang dimanfaatkan sedemikian rupa, sangat membuatnya geram. Manusia serakah memanfaatkan peluang itu untuk mengumpulkan manfaat baginya. Manfaat itu berbagai macam bentuk. Tidak semata karena tidak berkecukupan. Manfaat itu tidak jarang bagi mereka yang sudah mapan hidupnya.
Serakah itu, sepadan dengan kata loba, tamak, dan rakus. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, semua kata itu tersebut. Misalnya menyebut kata loba, selalu sepadan dengan kata tamak, rakus, dan serakah. Demikian juga kata lainnya.
Intinya, orang yang serakah selalu hendak memiliki lebih dari yang dimiliki. Orang loba selalu ingin memiliki banyak. Orang yang tamak selalu ingin beroleh banyak untuk diri sendiri. Orang yang rakus selalu ingin memperoleh lebih banyak dari yang diperlukan. Dalam konteks makan, orang rakus selalu suka makan banyak dengan tidak memilih.
Lantas bagaimana hubungannya? Hukum ternyata bisa digunakan untuk memperbanyak harta orang yang memiliki kewenangannya. Orang-orang yang memiliki ruang dengan ijin tertentu, ada yang menggunakan peluang untuk memanfaatkannya. Mereka yang berkuasa membuat hukum, mengumpulkan banyak peluang untuk bisa menikmati berbagai fasilitas –dilegalkan atau ilegal.
Dengan demikian, kami berlima, setidaknya menganggap bahwa hukum berpotensi digunakan secara terencana untuk tujuan-tujuan yang serakah. Lalu apa antisipasi kami yang pernah belajar hukum, rasanya tidak ada apa-apa. Orang-orang yang belajar hukum seperti kami, berkilah bahwa penggunaan hukum sebagai alat, bukan lagi di wilayah kami. Ada wilayah orang lain. Pihak lain yang memiliki wewenang untuk melakukan itu.
Atas alasan ini, pihak yang bisa berkilah semakin banyak. Tidak selalu karena batin menolak, tetapi bisa juga karena keberanian. Ada orang yang ingin melakukan lebih banyak hal, namun keberanian menyurutkan keinginannya. Wajarlah para begawan hukum berkesimpulan, bahwa untuk meluruskan hukum, tidak hanya butuh orang baik, tetapi juga orang yang berani. Tanpa orang yang berani, sesuatu yang baik pun akan mudah dibelokkan.
Mohon maaf, kami sedang bermain-main dengan cerita. Sebelum jelas jawaban, hujan sudah turun. Kami pun bubar setelah merasakan titik-titik hujan sudah mulai menyentuh meja.