Soal Rasa

Konon, pada suatu tahun, Kaisar Jepang Akihito membatalkan rencana perayaan ulang tahunnya di Bali. Alasan utamanya waktu itu, yang pasti adalah menghindari ancaman bencana. Apalagi sejumlah bandar udara membatalkan penerbangan dalam dan luar negeri. Debu …

Konon, pada suatu tahun, Kaisar Jepang Akihito membatalkan rencana perayaan ulang tahunnya di Bali. Alasan utamanya waktu itu, yang pasti adalah menghindari ancaman bencana. Apalagi sejumlah bandar udara membatalkan penerbangan dalam dan luar negeri. Debu vulkanik yang dimuntahkan Gunung Agung, bahkan mencapai sejumlah tempat sekitar. Pengungi sudah melebihi angka 50 ribu.

Ada alasan lain dari kaisar yang bagi saya sangat menarik. Suasana keprihatinan bagi masyarakat yang sedang menghadapi bencana. Perayaan ulang tahun yang disertasi rasa bahagia, namun prihatin jika dilaksanakan di lokasi orang-orang yang sedang menghadapi bencana. Alasan ini menurut saya sangat penting dan tampak perasaan sangat digunakan.

Berbeda dengan sejumlah orang lokal dan bule di media sosial yang dengan riang gembira menjadikan debu vulkanik sebagai foto yang bahagia. Konon pula saat-saat bencana lalu diiringi keinginan menjadikannya sebagai objek wisata. Ini sudah benar-benar di luar logika. Bagaimana kita tega menjadikan bencana sebagai saya tarik, sedangkan lebih 50 ribu orang sedang mengungsi?

Sensitivitas terhadap rasa inilah yang sangat penting bagi manusia. Berusaha untuk memahami apa yang sedang diderita oleh orang lain. Saat kita bisa merasakannya, maka ketika orang lain menghargai kita atau tidak, kita bisa memahaminya.

Inilah cerita kita. Saya teringat dulu, seorang teman di Jawa, mengirim satu foto yang membuat saya trenyuh. Foto seseorang yang sedang mengabadikan dirinya sedang tersenyum dengan berlatar belakang pesawat yang masih mengepul asap. Sambil tersenyum renyah, orang dalam foto mengabadikan dirinya dengan latar belakang peristiwa yang memilukan. Saya tidak bisa membayangkan, orang-orang yang sedang mengalami kecelakaan dan berdarah-darah, lalu menyaksikan di sekelilingnya ada orang yang sedang berfoto ria.

Setelah saya lihat foto tersebut, saya mencoba mencari tahu seberapa banyak fenomena demikian ada di sekitar kita. Ternyata, jumlahnya mencengangkan sekali. Dengan berbagai tampilan dan wajah. Orang yang berfoto demikian tidak satu atau dua. Barangkali zaman sedang sakit, dengan bertambahnya banyak pula orang-orang yang kurang sehat mental.

Dalam kenyataan, setelah beberapa bencana serius, tampak ada tipe orang yang mampu begitu. Foto lain yang saya saksikan dengan tidak nyaman adalah ketika terbakarnya gedung sebuah bank, di mana di dalamnya ada satu korban yang terjebak. Ternyata di pagar luar, ada orang yang antre memfoto diri. Hal yang sama ketika terjadi banjir bandang, banyak orang ke lokasi bencana bukan untuk membantu, tetapi untuk mengabadikan diri dalam foto. Sedangkan pada saat yang sama, orang yang menjadi korban sedang berusaha untuk menata kehidupannya. Orang-orang yang bekerja juga sulit karena banyak kendaraan pelancong yang ingin menyaksikan bencana. Jangan-jangan, suatu waktu nanti, ketika ada korban berbagai kejadian yang sedang berdarah-darah, orang datang untuk mengabadikan sambil beriang gembira.

Ini terkait selfie. Orang yang memfoto diri sambil beriang gembira di tengah bencana. Bisa dibayangkan, bagaimana orang bisa mampu tersenyum renyah mengabadikan diri, sedang di lokasi tersebut, orang-orang sedang bekerja keras mengevakuasi korban. Dalam bencana kecelakaan, malah korban yang masih hidup sedang berjuang dengan rasa sakitnya, sementara kita memfoto diri tersenyum riang. Bukankah kita sesungguhnya sedang merasa senang dengan apa yang sedang terjadi? ironis sekali posisi manusia yang demikian.

Disebut selfie karena dalam bahasa Inggris dinamakan self-potrait. Seseorang memfoto diri sendiri dengan menggunakan kamera apa saja. Dengan perkembangan alat elektronik yang luar biasa, jenis kamera juga beragam. Bahkan handphone dengan harga murah pun sudah menyediakan berbagai bentuk perekam diri.

Apakah orang tidak boleh memfoto? Itu lain cerita. Tidak masalah orang mengabadikan lokasi bencana. Akan tetapi, memfoto sambil beriang gembira di tengah bencana, itu yang jadi masalah. Seolah menjadikan lokasi bencana sebagai tempat wisata. Lalu foto demikian diunggah ke berbagai ruang yang lebih luas.

Sudah tentu, ada kepuasan tertentu yang akan diperoleh mereka yang melakukan foto diri itu. Tidak bisa tidak. Orang yang sehat, mungkin tidak bisa mengukur kepuasan yang diperoleh oleh mereka yang beriang gembira berfoto diri dengan latar belakang bencana.

Generasi kita tidak boleh lagi abai terhadap rasa. Apapun yang ada di sekelilingnya harus diresapi jauh ke dalam lubuk hati. Dengan begitu, akan dipahami apa yang dirasakan oleh orang lain.

Leave a Comment