Sahib saya yang satu ini, mengingatkan saya pada satu kenalan saya yang sedang menempuh studi di tempat saya. Kenalan saya ini seorang pengacara pada grup pengacara yang lumayan terkenal. Ia tidak menyewa kamar di sini. Berbeda dengan kenalan saya yang satu lagi, yang profesinya juga pengacara. Ia akan datang ke sini beberapa hari. Ia akan menginap di hotel atau penginapan tertentu –tentu saja yang lebih mewah dari tempat tinggal saya selama ini. Jadi ketika membutuhkan sesuatu di sini, ia akan mempersiapkan waktu beberapa hari. Ia sudah memperhitungkan dengan dua atau tiga hari, keperluan yang ingin diselesaikan akan tuntas.
Sedangkan orang yang saya kenal tersebut, selalu berangkat tiap pagi dari Jakarta. Bahkan ketika ia menjalani bimbingan dengan dosen sekalipun, ia selalu berangkat pagi dari Jakarta. Karena saya sering berada di perpustakaan kampus, saya bahkan pernah melihat orang ini tiap pagi ke kampus –yang berarti ia tiap pagi berangkat dari Jakarta ke kampus ini. Tentu bagi saya, tidak bisa membayangkan betapa besar pengeluaran yang ia keluarkan untuk itu. Dengan harga pesawat termurah dan promo sekalipun, pengeluarannya tentu tidak sedikit. Akan tetapi apakah itu impas dengan pendapatannya? Jawabannya mungkin saja. Seseorang yang berdiam di sini dengan memilih kembali ke Jakarta ketika siang, mungkin pendapatannya akan bisa menggantikan berlipat dengan apa yang dikeluarkan. Orang yang berprofesi tertentu, justru dengan masuk kerja walau hanya sejumlah jam saja sore harinya, bisa jadi akan mengembalikan apa yang sudah dikeluarkan pagi hari. Maka pilihan apapun yang dilakoni, pada dasarnya ia sudah memperhitungkan sedemikian rupa, sama seperti kenalan satu lagi yang memilih berdiam diri beberapa waktu.
Model berdiam diri ini juga yang sering dipraktikkan sahib saya yang kuliah di Medan. Ia ketika sudah berjanji akan bertemu dengan pembimbing akademiknya di pagi hari, maka malamnya ia akan melaju dengan menggunakan bus malam. Jika sampai di sana ada yang tidak bisa diselesaikan hari itu juga, ia akan memilih tempat menginap yang setara dengan pendapatannya. Sebaliknya, jika semuanya selesai pada hari itu juga, maka malamnya ia akan menggunakan bus malam untuk kembali kampung halamannya.
Dengan perjalanan sekitar 10 jam, sering membuat orang bisa mengatur ritme perjalanan sedemikian rupa. Konon lagi dengan bus yang tingkat kenyamanannya semakin hari semakin luar biasa. Maka dalam bus, bagi sebagian orang yang sudah terbiasa, bisa sebagai pengganti waktu untuk mengistirahatkan tubuhnya. Tentu tidak semua orang bisa semacam ini. Orang tertentu, ketika ingin istirahat, tidak bisa dilakukan pada tempat yang berjalan –ya semacam bus malam yang sering digunakan sahib saya itu. Untuk mengatur ritme waktu dan pendapatan, pilihan semacam ini juga menarik untuk dicoba.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.