Swalayan

Masih ada swalayan sampai sekarang yang menawarkan pakai plastik atau tidak untuk barang belanjaan. Tawaran ini ada implikasi sejumlah rupiah. Entah ada audit atau tidak. Entah ada izin atau tidak. Setiap kutipan bagi atas nama …

Masih ada swalayan sampai sekarang yang menawarkan pakai plastik atau tidak untuk barang belanjaan. Tawaran ini ada implikasi sejumlah rupiah. Entah ada audit atau tidak. Entah ada izin atau tidak. Setiap kutipan bagi atas nama publik, apapun itu dan atas alasan apapun, seharusnya memang ada izin tertentu. Tidak boleh sembarangan dan mengatasnamakan sesuatu.

Kenyataannya mengutip sejumlah uang dengan alasan yang baik dan masuk akal, kadangkala melupakan mekanisme dan prosedur. Bagaimana kalau tidak digunakan sebagaimana yang dialasankan? Atau penggunaannya akan berbeda dengan tujuan yang disebut awal?

Ada dua hal yang harus diperhatikan. Niat yang betul, dengan meneguhkan untuk apa sesuatu dilakukan. Lalu bagaimana ia dikumpulkan, tentu ada mekanisme yang harus dilalui.

Awalnya, ketika kampanye kurangi plastik dilakukan beberapa tahun lalu, saya selalu ditawari oleh pelayan swalayan. Sebelumnya mohon maaf, istilah pelayan tak hendak menempatkan kelas. Sebutan pelayan hanya untuk memosisikan yang bersangkutan dalam posisi pekerja di swalayan tersebut. Dalam hal ini pun tidak berlebihan, saat menyusuri Kamus Bahasa Indonesia, bahwa yang disebut pelayan adalah mereka yang membantu menyiapkan atau mengurus berbagai kebutuhan yang diperlukan seseorang. Dalam konteks ini, antara pembeli di swalayan dengan mereka yang melayani pembelinya itu.

Sebenarnya konsep melayani juga terus berubah. Dalam kenyataan, penyedia barang dan jasa berlomba-lomba untuk menyediakan pelayanan semaksimal mungkin. Dalam bahasa sekarang, disebutkan pembeli atau mereka yang membutuhkan barang dan jasa sebagai raja. Nah, istilah ini sendiri juga bisa ditafsirkan berbagai macam. Ketika didudukkan seseorang sebagai raja, maka perlakuan terhadap orang yang disebut raja, tentu sangat istimewa dibandingkan dengan orang lain yang tidak menjadi pemakai barang dan jasa di tempat tersebut. Dengan status istimewa, berlomba melayani kadang dilakukan dengan cara yang tidak masuk akal. Orang yang melayani akan merayu dengan berbagai jurus agar seseorang melihat atau menggunakan atau membeli barang dan jasa yang ditawarkan.

Bahkan tak jarang, banyak toko yang juga menyediakan perayu tamu secara khusus. Sebelum dilayani oleh pelayan, ada sejumlah tenaga –yang prinsipnya juga sama dengan pelayan—untuk merayu agar orang-orang menggunakan barang dan jasa yang ditawarkan. Rayu itu, tidak hanya dilakukan secara langsung. Dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi sekarang ini, rayuan ini juga bisa dilakukan dengan berbagai media iklan –ruang yang memungkinkan seseorang menawarkan sesuatu yang melebihi aslinya. Sesuatu yang ditawarkan lewat iklan, sering melebihi dari apa yang terlihat dalam kenyataan.

Lupakan semua itu, saya akan kembali ke tawaran di atas. Tawarannya adalah apakah saya akan menggunakan plastik atau tidak. Terus-terang beberapa kali saya lebih sering membawa tas kain yang kalau dilipat dan dimasukkan dalam kantong, tidak akan tampak oleh orang lain. Tentu, ketika ditawarkan dan saya menerima, maka saya harus membayar Rp 200 lagi untuk membiayai plastik itu. Hal ini sebagai kesepakatan banyak pihak untuk mengurangi penggunaan plastik.

Langkah ini saya setuju. Plastik akan membawa beban bagi bumi, karena membutuhkan waktu yang sangat lama untuk dapat didaur secara alamiah. Diharapkan dengan ada harga, pengguna plastik akan berkurang. Namun ada masalah lain yang membuat saya bertanya-tanya. Swalayan yang menerima Rp 200 per kantong plastik atas alasan menyelamatkan lingkungan, itu akan di bawa kemana? Apakah mereka akan menggunakan uang tersebut juga untuk kegiatan lingkungan? Kalau tidak, tentu swalayan akan mendapatkan keuntungan ganda, untuk sesuatu yang dulu diberikan cuma-cuma. Saya hanya tak ingin seperti kata Goleman, penulis buku Kecerdasan Intelegensia bahwa atas nama lingkungan, mereka mendapatkan untung yang berlipat.

Atas alasan itu, saya mengajak mari kita hidup hemat. Sasarannya ada dua. Hemat energi bumi dengan mengurangi drastis penggunaan plastik, dan hemat uang dengan membudayakan bawa barang belanjaan memakai tas yang dibawa dari rumah. Nilai Rp 200 bagi yang berduit, mungkin bukan masalah, namun pahamilah pembudayaan sikap terhadap hidup hemat, jauh lebih penting dari memikirkan angka yang mungkin tidak seberapa itu.

Mari hidup hemat.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment