Tambang

Suatu kali saya tidak menyadari ada pertanyaan penting dari seseorang yang menyebut dirinya bukan orang pandai. Saat ia sebut demikian, hal yang bisa saya tangkap adalah anggapannya bahwa saya ini berasal dari golongan orang-orang pandai. …

Suatu kali saya tidak menyadari ada pertanyaan penting dari seseorang yang menyebut dirinya bukan orang pandai. Saat ia sebut demikian, hal yang bisa saya tangkap adalah anggapannya bahwa saya ini berasal dari golongan orang-orang pandai. Untuk anggapan ini, jika benar, saya juga harus berkilah karena bukan orang pandai yang paripurna.

Orang yang mengaku bukan orang pandai ini, menanyakan ke saya, bahwa apakah semua orang pandai itu menyadari jika memberi sesuatu pengetahuan kepada mereka? Dengan bahasa sederhana mereka, sesungguhnya sejauhmana orang pandai itu memahami apa yang dibutuhkan oleh mereka yang tidak pandai? Posisi memahami ini sendiri, mungkin bisa diperdebatkan, terutama selingkup apa yang dimaksudkan itu.

Saya sendiri tidak mampu menjawab tegas. Bagi saya itu, orang pandai sendiri harus memahami sesuatu dari siapapun dengan masuk ke relung hatinya. Kita tidak bisa menafsirkan apa yang dibutuhkan seseorang, hanya dengan melihat apa yang mereka punya. Ungkapan paling penting untuk mengingat hal ini adalah bahwa pandangan mata itu bisa menipu.

Sesuatu harus dipahami tidak hanya dengan fisik, melainkan harus melibatkan jiwa untuk memahami apa yang sedang dihadapi seseorang. Kebutuhan seseorang tidak bisa ditentukan hanya karena melihat kondisi fisik mereka. Pada posisi ini, mungkin sering orang keliru. Saat melihat seseorang hidupnya sederhana, lantas dikaitkan dengan kebutuhan fisik sebagaimana yang kita inginkan.

Ketika saya kuliah, seorang profesor saya sangat menitikberatkan pada upaya memahami sesuatu dalam masyarakat. Orang pandai tidak boleh semena-mena dan menjadi penentu seolah menjadi pihak yang paling memahami mengenai kehidupan mereka yang sangat kompleks.

Apa yang diingatkan itu, memantik kembali saat pertanyaan di atas ditanyakan kepada saya. Tidak soal sejauhmana Anda berbeda pendapat dengan saya, namun patut diingatkan, bahwa berbagai kebutuhan dalam kehidupan kita, masing-masing akan berbeda.

Bukankah sesuatu yang kita rasakan sebagai kebutuhan dalam hidup dan kehidupan kita, tidak bisa lantas kita sederhanakan bahwa itu juga yang menjadi kebutuhan orang lain?

Saya ingin menceritakan satu pengalaman penting yang pernah saya ikuti. Saat masih kuliah dulu, saya mendapat satu pesan singkat tentang adanya satu diskusi tentang orang kampung yang membaca analisis dampak lingkungan.

Ada yang menarik dari undangan itu, bahwa semua mereka yang membacanya adalah perempuan. Orang kampung yang membaca analisis tersebut, adalah ibu-ibu.

Terus-terang, bahasa yang digunakan adalah bahasa lokal di sini. Jadi tidak semua hal yang disampaikan saya pahami. Beberapa isu yang disampaikan –walau dalam bahasa lokal—sedikit saya pahami. Di antara hal yang saya mengerti –dan ini setelah diskusi saya konfirmasi pada teman saya—mengenai pengakuan mereka yang sulit memahami produk orang pandai.

Sebenarnya kisah ini adalah perlawanan masyarakat lokal terhadap tambang, khususnya perusahaan semen. Setidaknya ada dua kabupaten yang kena. Penguasa lokal sudah memberi dan memfasilitasi izinnya. Dari dua orang kampung yang datang dan menjadi pemateri diskusi kemarin, saya melihat mereka menenteng dua dokumen tentang analisis lingkungan di dua lokasi yang berbeda. Masing-masing dokumen itu, bila saya ukur berdasarkan penglihatan dari tempat duduk audiens, mungkin setebal tiga rem kertas kwarto. Mungkin sekitar 1.500 halaman. Akan tetapi saya tidak tahu apa foto kopi di dalamnya timbal balik atau satu muka saja.

Penduduk dua kawasan itu sudah lelah melawan intervensi dan dominasi penguasa yang ingin mendapat pendapatan dan perusahaan yang ingin memperoleh untung. Penguasa lokal di sana, barangkali akan mendapat beberapa cuil pemasukan daerah. Dan jumlah yang diberikan pemanfaatan, tidak tanggung-tanggung: sepanjang mata memandang di satu alur bukit. Orang kampung di sini bersikeras menentang tambang semen, alasannya sederhana. Di samping wilayah izin itu, ada sekitar 100-an sumber air –yang konon oleh satu perusahaan air juga sudah mulai diincar untuk mendapatkan izin lain lagi dari pemerintah lokal. Sekiranya tambang semen itu dijalankan, maka sebanyak itu sumber air akan hancur, dan bisa dipastikan ada empat kampung yang secara langsung menggantungkan hidup pada sumber air itu, akan mengemis air kemana-mana. Alasan lain adalah lokasi mereka yang bertani. Menurut pemahaman mereka, apabila semen beroperasi, maka lokasi pertanian mereka –terutama sawah—akan terancam.

Lalu suatu waktu, pimpinan daerah meminta diskusi dengan orang-orang kampung ini. Dalam diskusi itu, pimpinan daerah hanya tanya satu hal: “Anda sudah baca analisis dampak lingkungan?”

Tentu orang kampung terperangah. Menurut mereka, sulit memahami analisis orang pandai, dan itu sepertinya bukan untuk dibaca oleh mereka sebagai orang kampung. Karena alasan begitu, pimpinan daerah mereka tidak bersedia dialog. Lalu mereka mencari jalan sendiri. Mereka memberitahukan dan meminta dukungan kepada semua pihak yang mau mendengarnya. Termasuk pada siang itu, mereka sengaja datang ke kampus secara bersahaja untuk menyampaikan apa yang mereka alami. Ketika saya menyimak diskusi itu, alasan mereka ke kampus sederhana sekali. Kata mereka: “Bapak/ibu, kami sudah tidak tahu akan menyampaikan persoalan kami kepada siapa?”

Saya jadi terpikir untuk mengingatkan teman-teman saya sebagai orang pandai, untuk tidak mudah mengklaim seolah menjadi pihak yang paling memahami kehidupan orang lain. Menjadi stempel terhadap berbagai kebijakan, harus sudah dilalui dengan proses lahir dan proses batin.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment