Salah satu hal yang akan kita pertanggungjawabkan suatu saat nanti, adalah soal waktu. Apa yang kita lakukan dengan waktu yang ada? Waktu hidup kita semacam misteri, yang sengaja disembunyikan bagi kita yang akan berhadapan dengan finisnya di dunia. Orang tidak bisa menebak, kapan ia akan berakhir. Seharusnya dengan tidak bisa menebak itu, setiap saat orang mempersiapkan kualitas hidupnya.
Kenyataannya orang justru berlomba-lomba pada hal yang tidak seharusnya. Waktu sering dibuang dan dibunuh –istilah yang dimunculkan melihat bagaimana orang dengan mudah menghabiskan waktu begitu saja. Padahal siapapun tahu bahwa waktu tidak mungkin dipanggil kembali, ketika ia sudah melewatkan kesempatan bagi kita.
Tanpa sadar, warung kopi menjadi salah satu tempat strategis dalam menghabiskan waktu yang ada. Warung kopi menjadi fenomena tersendiri di daerah kita. Berbagai macam daya tarik dihadirkan dalam bisnis ini.
Suatu kali, selesai shalat subuh, dengan seorang tamu yang saya dampingi selama tiga hari, kami mencari warung kopi yang sudah buka di sekitar penginapan, ternyata belum ada. Sebagian mereka baru membuka pintu ketika suasana sudah sedikit terang. Mungkin ada tempat lain, yang jauh dari penginapan ini, yang sudah buka. Bahkan ada sejumlah warung kopi yang bahkan buka hingga 24 jam.
Ketika musim tertentu, semisal even olahraga, warung kopi menjadi tempat yang penuh gegap gempita. Orang-orang bergadang untuk mendapatkan tontonan yang menarik. Tontonan yang barangkali jika diukur untuk kepentingan strategis masa depan, hampir tidak ada manfaatnya. Akan tetapi siapa yang peduli dengan kepentingan strategis masa depan? Dalam hal ini ada kehidupan setelah dunia. Ketika hidup di dunia, ada orang yang merasa seolah-olah tiada akhir dari hidupnya.
Jadi begitulah pada waktu tertentu, ketika orang banyak yang melangkah kaki untuk mendapat tontonan hingga menjelang subuh. Begitu masuk waktu subuh, lantas mereka pulang ke rumah dan memilih tidur, sebelum menunaikan kewajibannya. Orang juga sudah tidak malu ketika merasakan gegap gempita tontotannya bersorak-sorak bahkan di dekat masjid sekalipun. Mereka yang sedang menikmati, jarang mendapat bocoran tentang ada orang lain di sekitarnya. Dalam hal yang demikian tidak diributkan orang banyak karena menganggu. Namun giliran dari dalam masjid yang hidup pengeras suara ketika mau masuk waktu shalat, banyak orang yang justru ribut. Bukankah tanggapan terhadap sesuatu hal juga berbeda-beda?
Ada seorang senior saya yang memiliki pengalaman lain. Ia sering merasakan munculnya orang-orang yang tidak adil terhadap sesuatu yang berbau agama. Ketika mempertanyakan yang demikian, lalu digolongkan sebagai orang modernis dan kritis. Orang-orang demikian lalu cepat sekali mendapat tempat, lalu diundang kemana-mana, diberi mimbar untuk menceritakan kekritisannya dalam mempertanyakan –lebih tepat mungkin mencerca—isu terkait agama. Kita hidup di ujung waktu yang penuh aroma demikian.
Begitulah warung kopi di sini. Nah, akhir-akhir, tidak semua warung sudah buka sejak dari pagi. Berbeda dengan dulu, terutama yang berdekatan dengan masjid, warung kopi sudah buka sejak subuh. Letaknya yang dekat masjid, memudahkan dalam menarik relasi antara ibadah dengan kehidupan selesai ibadah. Begitu keluar masjid, orang lalu bersosialisasi. Seiring dengan perkembangan zaman, pola ini juga sudah banyak berubah. Bahkan perubahan itu sendiri terjadi dalam berbagai relung yang lain juga. Misalnya orang ke warung kopi sudah tak tentu waktu. Warung kopi juga dijadikan sebagai tempat mangkal selama berjam-jam lamanya.
Bagi generasi muda, membuang-buang waktu demikian menjadi masalah kelak. Itu pun kalau kita sepakat bahwa duduk berlama-lama tanpa tujuan itu sama dengan membuang-buang waktu. Generasi muda harus lebih kreatif, dengan mendayagunakan semua waktu yang ada untuk berbuat sesuatu yang penting dan strategis, tidak hanya bagi dirinya, melainkan juga untuk orang lain di sekelilingnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.