Ada dua hal yang selalu harus diingatkan. Pertama, orang-orang yang ingin mendapatkan hasilnya, harus berusaha sejak pagi. Mereka yang sukses selalu didukung oleh usaha keras sejak bangun pagi hari. Ada optimisme yang dibangun sejak mata terbuka dari tidurnya. Tipe orang yang demikian yang berpeluang besar mencapai apa yang diinginkan.
Kedua, dalam berusaha sekalipun, kita harus berangkat dari pikiran positif. Orang lain yang berusaha dan sama ruangnya dengan kita, bukanlah pesaing yang akan menyerobot apa yang akan menjadi milik kita. Pikiran positif ini yang turut menggerakkan lebih hebat semangat kita berusaha atau mengerjakan apa yang menjadi tugas dan kewajiban rutin kita setiap hari.
Dua hal di atas saling bersinergi. Orang-orang yang memilih membungkus diri di tempat tidur waktu pagi, akan tertutup pintu-pintu rezekinya. Bukan hanya itu. Orang-orang yang bermental begitu, bahkan tidak semangat untuk berusaha secara serius dan menata hidupnya secara lebih baik.
Kondisi ini tidak mungkin bisa dianggap sederhana. Orang yang tidak memiliki semangat, akan berpengaruh bagaimana ia bisa menjalani hidup dan kehidupan yang lebih luas. Seseorang harus selalu berusaha memperbaiki kualitas hidupnya, yang proses salah satunya adalah dengan semangat hidup.
Masalahnya adalah seberapa yakin kita akan tumpuk masing-masing itu seiring dengan semangat yang kita punya? Apakah kita yakin bahwa tanpa bersaing dengan orang lain pun, apa yang menjadi milik kita pasti akan tersedia?
Selama ini, saya sudah mendengar sejumlah pihak yang berusaha dengan tidak lagi menjadikan persaingan sebagai jalan dalam menjalankan usahanya. Orang-orang yang cerdas sudah membangun jalan sebaliknya. Membantu usaha orang lain secara sehat dengan harapan akan berimbas secara positif terhadap usaha kita sendiri. Dengan demikian akan lahir suatu spirit yang akan saling memberi kemudahan satu sama lain.
Sesungguhnya ada sebuah penegasan dari al-Quran, bahwa semua rezeki kita masing-masing, sudah ada tumpuknya. Tidak mungkin rezeki yang seyogianya itu menjadi milik kita, akan bertukar dengan milik orang lain. Sebaliknya apa yang seyogianya menjadi milik orang lain, lalu menjadi milik kita.
Semua sudah ada tumpuk masing-masing, yang disalurkan melalui usaha dan kerja keras yang dibangun. Memperbesar pendapatan kita bukan melalui jalan membungkam orang lain. Justru dengan merangkul orang lain, kadang-kadang akan menambah pendapatan yang berlipat, yang terbangun dari kekuatan-kekuatan yang positif.
Hal inilah yang saya ingat, suatu waktu, ketika transit di Jakarta, saya mendapat seorang teman baru. Duduk di sini sebenarnya bukan tujuan awal. Waktu itu, ketika mau mengetik, karena waktu transit lumayan lama, sampai 2,5 jam, saya gunakan untuk menulis. Tiba-tiba terlihat baterai laptop yang sudah melemah. Atas alasan itu, saya lalu mencari tempat yang tersedia arus listrik. Dan di lorong itu, ternyata hanya tersedia beberapa saja, tentu di dalamnya banyak cabang. Makanya saya harus duduk di sekitar itu. Saya harus menunggu beberapa waktu karena saat yang bersamaan, banyak orang lain yang juga menggunakan arus. Setelah ada serombongan yang naik ke pesawat, saya segera menggantikan posisi mereka.
Tidak berapa lama, datang seseorang. Lalu sambil mengisi baterai laptop dan menulis, seorang pemuda itu duduk persis di samping saya –saya perkirakan seusia saya. Ia baru pulang dari Mexico. Ia sedang menunggu konfirmasi adanya satu bagasi yang hilang. Isinya oleh-oleh hari raya yang akan ia bagi-bagikan untuk keluarga besarnya. Tapi ia tidak gelisah, seperti kebanyakan orang yang hilang barang-barang penting. Hanya satu yang ia yakini, bahwa kalau barang itu miliknya dan dibeli dengan harta yang benar, maka barang-barang itu pasti tidak akan kemana. Pasti. Dari pembicaraan kami, saya mendapat informasi bahwa ia sudah melangkah ke beberapa negara. Tahun ini ia memprogramkan berhari raya dengan keluarga besarnya di Surabaya. Namun ia tidak mendapat pesawat langsung ke sana. Ia terbang dari Mexico ke Amsterdam, lalu Jakarta. Ia pun memilih naik kereta untuk ke Surabaya.
Orang ini tipe pekerja. Sekecil apapun dihemat. Karena ada perbedaan harga tiket mencolok antara pesawat dan kereta, makanya dia memilih kereta. Padahal dengan kereta, ia harus ke kota dulu, tidak langsung tersedia di bandar udara. Dari Jakarta ke Surabaya juga harus dilalu sekitar 10 jam. Baginya tak masalah, dengan menghemat begitu, menurutnya akan dapat menambah sedikit lagi yang bisa diberikan kepada keluarga besarnya.
Ia mengeluh ketika orang ke luar negeri dianggap sebagai orang-orang yang sudah berkelebihan. Padahal ia berjualan makanan di sana. Untungnya dengan berjualan itu, ia bisa bekerjasama dengan beberapa orang di negara yang berbeda. Alasan yang terakhir ini yang membuatnya bisa lalu-lalang ke beberapa negara sekitar.
Lantas mengapa ia harus di sana? Ternyata ia mendapatkan jodoh dengan Muslim Mexico. Sudah delapan tahun menikah, memiliki dua anak, namun mereka tidak bisa diajak karena terbatasnya ongkos tahun ini. Itulah yang ia ceritakan ketika sedang menunggu bagasinya yang entah hilang atau mungkin terbawa entah kemana.
Saya tidak ingin bercerita lebih lanjut tentang bisnis dan keluarganya. Bagi saya yang lebih menarik adalah pada keharusan untuk membeli sesuatu dengan penghasilan yang lurus. Apalagi dalam bulan ini yang penuh berkah, apapun yang ingin dibawa pulang harus berasal dari harta yang benar-benar bersih. Lalu bagaimana apabila bagasinya benar-benar hilang? Secara formal, ia sudah meminta maskapai bertanggung jawab. Namun di luar itu, ia jadi berpikiran bahwa jangan-jangan apa yang dibawa pulang itu bukan benar-benar miliknya.
Ia yakin bahwa semua miliknya sudah ada tumpuknya. Tidak mungkin bertukar. Makanya ia tidak gelisah. Kadang-kadang saya yang memahami cara berpikirnya yang justru gelisah. Kita harus banyak berusaha untuk mengubah apa yang kita pikirkan. Suatu saat, kita harus berada pada cara berpikir orang yang sudah berhasil dan yakin, bahwa tumpuk kita tidak akan bertukar dengan tumpuk orang lain.