Dengan apa ukuran kesuksesan hidup kita itu diukur? Orang menyadari bahwa kesuksesan itu tidak diukur dengan uang. Namun saat berhadapan dengan kenyataan, anggapan itu seolah benar. Kepunyaan akan tumpuk uang, menjadi alat ukur seseorang itu sudah mencapai taraf yang diinginkan atau belum.
Bagaimana mengukur seseorang bisa mendapatkan uang yang cukup? Apakah ada yang bertanya saat ada famili atau tetangganya yang kerja biasa saja, tiba-tiba bisa membuat rumah megah dan memiliki mobil mewah? Ada orang yang memiliki warisan hingga generasi ketujuh, tentu yang demikian tidak menjadi soal. Lantas orang yang pangkatnya kecil, hanya mendapat posisi yang bagus, lantas memiliki semuanya dalam sekejap.
Dunia keseharian dikenal dalam bahasa posisi basah yang posisi kering. Posisi itu berkorelasi dengan pendapatan yang berhasil dibawa pulang. Pendapatan itu sendiri harus dipilah ke dalam pendapatan yang halal, atau pendapatan yang didapat lewat jalur belakang.
Ada berbagai nama pemberian lewat jalur belakang itu. Ada yang menyebut uang terima kasih, padahal mereka yang bekerja sudah berjanji melakukannya sepenuh hati, tulus-ikhlas, karena negara sudah memberi gaji. Di luar itu ada uang kopi atau uang rokok.
Semua kemudian bermuara pada pertanyaan dasar, mengapa semua itu terjadi? Dulu, ketika banyak orang yang korupsi, lahir sebuah tesa yang itu kemudian diterapkan melalui kebijakan, yakni kecilnya honor atau kompensasi yang diterima oleh mereka yang bekerja pada institusi penting dan krusial. Institusi itu umumnya berhadapan langsung dengan masalah yang nyata bagi masyarakat. Honor yang dulu terbatas, lalu ditambah berlipat.
Lalu dengan temuan terakhir, beberapa pengadil yang ditangkap karena menerima gratifikasi dan korupsi, seolah membalikkan tesa itu. Dengan gaji yang tidak sedikit, ternyata mereka juga bisa menerima uang receh.
Kondisi inilah yang ternyata melahirkan kesan baru bahwa bisa jadi bukan karena miskin yang menyebabkan seseorang menyolong atau menerima sesuatu dari orang lain secara tidak berhak, melainkan karena mentalitas: mental pencuri.
Berbicara mentalitas adalah berbicara sesuatu dari dalam jiwa dan batin, ia bersemayam dalam sanubari. Ketika orang mau melakukan sesuatu atau tidak, jiwa dan batin itulah yang akan membisik bahwa ia bisa meneruskannya atau tidak.
Seseorang dengan jiwa dan batin yang bersih, maka jauh-jauh sebelum sesuatu yang batil dikerjakan, akan ada bisikan keras untuk menolaknya. Sebaliknya, seseorang yang jiwa dan batinnya berkarat dengan tipe menerima secara tidak berhak, bukan sesuatu masalah.
Perbedaan keduanya bisa dirasakan oleh masing-masing. Saya mendengar seorang teman yang selalu menderita demam tinggi setelah menerima sesuatu dari orang lain secara tidak berhak. Sesuatu yang diterima bahkan tidak besar, mungkin sesuatu yang biasa dianggap oleh kebanyakan kita. ada sesuatu yang membuatnya pada posisi tertentu tidak bisa menolak, misalnya ketika semua orang menerima dan menganggap yang demikian adalah hal yang biasa saja.
Orang yang ingin mengurus sesuatu, lalu menghubungi orang lain dengan mengajak duduk sambil ngopi dan semuanya dibayar, merupakan contoh lain dari fenomena demikian. Tak jarang, kopi yang dibayar itu harganya tidak sembarang. Kopi yang diminum juga bukan kopi yang biasa-biasa saja. Dengan jumlah orang yang ikut serta tidak sedikit, membuat bayaran menjadi membengkak. Namun hal yang demikian sudah terlanjur dianggap biasa.
Ketika suatu kali teman itu menghubungi menanyakan pendapat, saya ragu dan tidak bisa memberi pendapat dalam kondisi yang sudah terlanjur dianggap biasa. Satu hal yang kemudian membuat saya yakin mengenai teman saya ini, adalah ketika ia mengundurkan diri dari pekerjaannya semula. Saya sarankan itu ketika bertemu. Suatu kali saya katakan padanya, bahwa bekerja dalam kondisi bahagia itu akan membawa implikasi kepada banyak kebahagiaan yang lain. Sebaliknya, dengan kondisi kerja yang tidak nyaman, justru akan mendatangkan banyak ketidaknyamanan yang lain. Lalu setelah itu ia memutuskan berhenti dan mencari kerja yang dari segi pendapatan, sesungguhnya lebih rendah.
Begitulah mentalitas yang saya maksudkan. Ketika seseorang memiliki tekad kuat untuk menghindari untuk menerima berbagai hal yang bukan miliknya. Apabila ada orang yang datang membawa sesuatu, ia tidak takut perasaan tidak enak untuk mengembalikan. Bahkan apabila yang bersangkutan tidak berkenan membawa pulang, dengan tangan sendiri akan membawa bawaan itu untuk ditumpahkan dalam saluran pembuangan. Entah kapan saya bisa sampai pada taraf mentalitas begini.
Orang mau menerima atau menolak, ditandai dengan tingkat kenyamanan. Itulah mental. Orang yang tidak merasa gelisah saat menerima apapun yang bukan haknya, patut merasa sedang digerogoti oleh mentalitas yang buruk. Orang yang demikian tidak akan merasakan kebahagiaan, karena berbagai yang diterima tidak atas dasar ketenangan jiwa.
Mereka yang melayani harus bertekad untuk kembali ke dasar. Sesuatu yang sudah ada kompensasi, jangan menerima lagi dari berbagai lini. Sudah cukup dengan yang sudah ada.
Mengapa orang berlomba-lomba melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang buruk, terkait dengan apa yang saya sebutkan di atas. Saat seseorang sudah pada taraf bahagia melakukan sesuatu yang buruk, maka camkanlah pada posisi itu, orang sudah tidak lagi bermental lurus.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.