Warna

Saya harus memperlakukan secara berbeda orang luar dan orang dalam. Orang kita sendiri, walau sudah lama tidak pulang, tidak terlalu asing dengan apa yang terjadi. Saat di jalan, bisa mengetahui, walau tidak sepenuhnya bisa memahami. …

Saya harus memperlakukan secara berbeda orang luar dan orang dalam. Orang kita sendiri, walau sudah lama tidak pulang, tidak terlalu asing dengan apa yang terjadi. Saat di jalan, bisa mengetahui, walau tidak sepenuhnya bisa memahami.

Orang yang sudah lama tinggal di tempat orang, merasa terasing saat melihat hal-hal yang di luar akal masih berlangsung. Bahkan sesuatu yang terjadi secara berjamaah sekalipun. Orang dalam semacam ini, bagaimana pun pahitnya respons yang diberikan, tetap orang kita, orang dalam. Cob dibayangkan, seandainya berbagai hal yang tidak mengenakkan dialami oleh orang-orang luar, yang menjadi tamu kita.

Mungkin Anda sama seperti saya, akan mencari suasana yang enak saat ada tamu yang datang. Apalagi tamu yang kita bawa keliling kota, pasti akan mencari tempat yang nyaman. Termasuk berharap tidak menemui suatu keadaan yang menimbulkan banyak pertanyaan yang tidak bisa dijawab.

Begitulah. Suatu kali handphone saya tiba-tiba berdering. Seorang teman akrab yang sedang kuliah, pulang kampung. Mumpung jumpa, saya sedikit memaksanya untuk meminum kopi. Berhubung saya tinggal agak pinggir dari pusat kota, teman karib saya itu menawarkan diri untuk menjemput. Saya iyakan. Lalu, sebagaimana janji, setelah ashar ia menjemput saya ke rumah. Sebagai tamu, ketika sampai di rumah, tentu ia dijamu dulu. Ia merasa nyaman hingga kami pun baru berangkat ke kota menjelang senja.

Sesekali pulang, sengaja ia memaksa keluar sebelum magrib, agar bisa shalat berjamaah sekali waktu di masjid bersejarah. Alhamdulillah kami sempat singgah ke sana dan shalat magrib berjamaah. Selesai shalat, berlanjut dengan mendengar ceramah setelah magrib hingga waktu shalat isya. Setelah shalat jamaah di masjid itu, baru kami keluar menuju warung kopi di pusat kota.

Dari rumah, ada enam traffic light yang harus dilewati. Dari masjid ke tempat tujuan kami, ada tiga. Teman saya setengah bercanda, mengatakan pada traffic light, peradaban juga bisa disaksikan. Ia menunjuk bagaimana banyak orang yang tidak menganggap ada traffic light. Lampu merah diterobos seenaknya. Orang yang berjalan di depan ketika lampu merah, harus berhati-hati ketika mau berhenti karena pengendara yang di belakang akan menabrak yang di depannya. Dengan terbolak-balik, atau mungkin memang sudah banyak orang tidak paham warna lampu, maka orang-orang yang paham seperti dipaksa untuk memahami orang-orang yang sengaja menerobos atau orang yang belum paham.

Di satu traffic light, saya dan teman mendapat tempat di barisan paling depan. Berdekatan dengan garis putih yang dilarang melewatinya ketika lampu merah menyala. Karena saya tahu kondisi, paling tidak, tangan saya melambai-lambai ke belakang, agar orang yang sekiranya mau menerobos, tidak menabrak kami. Ternyata lambaian tangan saya tidak begitu dipahami oleh pengemudi kendaraan di belakang. Sehingga ketika kami berhenti, ada beberapa kendaraan yang membunyikan klakson berulang-ulang. Kami bisa memahami bahwa klakson tersebut adalah perintah pengendara di belakang kami agar kami terus berjalan.

Sang teman saya yang menyetir, ternyata konsisten tidak mau terus jalan karena waktu itu, warna lampu memang sedang merah. Teman saya itu, lalu meminta saya turun. Ditopangnya kendaraan, lalu ia menuju ke arah pintu mobil –salah satu pengendara yang membunyikan klakson. Waktu itu, yang saya dengar, ia tanya ke pengemudi mobil: “Maaf, salah saya apa ya kok kami diklakson? Apa saya salah berhenti saat lampu merah?”

Teman saya itu menatap sopir dalam-dalam. Sedangkan sopir diam. Katanya lagi: “Atau apa mata saya yang tidak bisa membedakan warna?” sopir itu juga masih diam. Lalu teman saya mengambil lagi motornya dan kami pun jalan. Di belakang kami, simpang itu tiada lagi yang berhenti. Entah sampai kapan.

Leave a Comment