Saya mendengar pertama sekali nama Prof. Mr. Paul Scholten, pada saat kuliah semester satu. Secara sekilas, dalam mata kuliah Pengantar Ilmu Hukum, salah seorang pengajar menyebut nama ini dalam kaitan bahwa peraturan perundang-undangan yang sudah dibentuk oleh penguasa, mesti dilaksanakan dengan baik. secara lebih dalam, nama ini kemudian saya dapatkan pada semester dua atau tiga saat mengambil mata kuliah Hukum dan Masyarakat. Ketika saya mulai kuliah (masuk 1996), buku ajar utama yang digunakan dalam mata kuliah Hukum dan Masyarakat, buku yang ditulis Prof. Satjipto Rahadjo, yang juga berjudul Hukum dan Masyarakat (Alumni, 1980). Dalam buku ini, nama Paul Scholten berulang disebut.
Bagi pembelajar hukum di Indonesia, tentu saja nama itu tidak asing. Terutama karena Mr. Paul Scholten pernah memimpin sekolah tinggi hukum era Hindia Belanda, Rechtshogeschool atau Faculteit der Rechtsgeleerdheid. Pada dasarnya, Rechtshogeschool ditingkatkan dari Rechtschool yang didirikan sejak 1909. Namun tahun 1928, Rechtschool ditutup karena sudah hadir Rechtshogeschool.
Rechtschool adalah sekolah hukum pertama di Hindia Belanda yang didirikan pada tahun 1909 oleh pemerintah kolonial Belanda. Tujuannya mendidik kaum pribumi agar mampu menjadi tenaga hukum di pengadilan kabupaten. Rechtschool inilah tanggal 28 Oktober 1924 –tanggal ini pula yang dijadikan hari dies natalis Fakultas Hukum Universitas Indonesia–ditingkatkan jadi Rechtshogeschool, sekolah yang periode awal dipimpin seorang guru besar Belanda, bernama Prof. Mr. Paul Scholten.
Paul Scholten lahir di Amsterdam tahun 1975, dan meninggal pada tanggal 1 Mei 1946. Usinya saat meninggal 70 tahun. Ia kuliah hukum pertama kali di Universitas Amsterdam, tahun 1899. Walau kemudian mencapai derajat guru besar, Scholten pada tidak hanya berprofesi sebagai akademisi. Ia juga bekerja sebagai hakim dan pengacara.
Informasi Scholten pertama kali sampai ke Nusantara, saya dapat dari artikel yang ditulis Prof. Shidarta, “Scholten dan Rechtshogeschool” (Binus, 2025). Ia menyebutkan, Scholten mendarat di Sabang (Pulau Weh, Aceh) tanggal 5 Februari 1924. Empat sesudahnya, ia baru mendarat di Batavia. Dalam catatan harian dan surat-menyurat dengan isterinya (Grietje Scholten-Fockema alias Griet) di Belanda, Scholten diketahui bertemu dengan banyak tokoh penting, baik selama perjalanan maupun sesampainya di Hindia Belanda. Salah satu di antaranya adalah Hoesein Djajadiningrat, anak Bupati Serang. Ia seorang doktor hukum lulusan Universitas Leiden di bawah bimbingan Snouck Hurgronje. Saat itu Djajadiningrat bekerja sebagai penasihat di Biro Urusan Dalam Negeri (Bureau Inlandse Zaken) Pemerintahan Hindia Belanda. Perkenalan ini memberi kesan yang baik pada Scholten, sehingga tidak mengherankan apabila Djajadiningrat kemudian ditunjuk menjadi salah seorang pengajar Rechtshogeschool
Prof. Mr. Paul Scholten menulis buku Mr. C. Asser’s Handleiding tot de Beoefening van het Nederlandsch Burgerlijk Recht: Algemeen Deel, diterbitkan edisi Indonesia oleh UGM Press tahun 1992 dengan judul Mr. C. Asser, Penuntun dalam Mempelajari Hukum Perdata Belanda: Bagian Umum. Buku ini terbit dalam rangka pengadaan buku teks untuk perguruan tinggi, Kerjasama World Bank Education XXI Project dan Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Di samping itu, atas jasa Prof. B. Arief Sidharta (FH Unpar), buku Mr. Paul Scholten, Struktur Ilmu Hukum diterbitkan tahun 2002.
Yayasan Obor, tahun 2024, menerbitkan buku terjemahan yang ditulis Rogier Chorus, Untuk Hukum dan Keadilan Paul Scholten (1875-1946), Biografi. Buku ini berasal dari buku berbahasa Belanda, Om Recht en Gerechtigheid, Paul Scholten (1875-1946), Een Biografie.