Sejumlah kampung, hari ini memilih kepala kampungnya. Sejak ada dana kampung, keinginan orang untuk mencalonkan diri sebagai kepala kampung sudah meningkat. Tensi konflik terkaitan banyaknya keinginan tersebut, juga ada kecenderungan lebih tinggi dari sebelumnya. Saat banyak orang mulai melirik posisi ini, di satu sisi membanggakan, namun di sisi lain sedikit menyedihkan. Saat ada magnet, tampak ada peningkatan. Tidak masalah. Membanggakan karena banyak orang yang ingin mendapat kesempatan untuk melaksanakan pengabdian kepada orang banyak. Terlepas bagaimana semangat yang muncul di masing-masing orang, semakin meningkat jumlah calon, semakin berpeluang besar dalam mencari alternatif orang luar biasa. Menyedihkan karena ternyata harus menunggu ketersediaan anggaran berlimpah dulu.
Saya masih merasakan bagaimana pada masa lalu, terutama pada masa konflik, sangat sulit mencari pemimpin. Banyak kepala kampung yang memilih mundur disebabkan tidak mampu menerima berbagai tekanan, waktu itu. Ada kampung yang kepala kampungnya tidak dikasih izin mundur oleh masyarakatnya, lalu yang bersangkutan memilih meninggalkan kampung. Taruhan dipandang lebih besar dari apa yang didapatkan. Terlalu banyak hal yang harus diurus di dalam kampung. Mereka yang memimpin harus melakukan berbagai urusan, dalam 24 jam. Seorang pemimpin di kampung memang harus berperan dan berbuat lebih banyak untuk kehidupan masyarakat mereka.
Ada perbedaan cara pandang dalam melihat kampung. Setelah anggaran untuk kampung melimpah, seolah yang dilihat sebagai urusan kepala kampung hanya mengurus administrasi pemerintahan. Sebagian orang sudah lupa bahwa kampung kita, tidak hanya soal administrasi pemerintahan, melainkan juga mengurusi warga dalam berbagai bidang yang lain. Seorang kepala kampung akan menerima pengaduan mulai keributan dalam masyarakat hingga konflik internal dalam rumah tangga. Tidak boleh menolak mengurusi warga karena memang tujuan dan orientasi kepemimpinan kampung seharusnya menjangkau semua hal itu. Seseorang yang duduk sebagai kepala kampung, akhirnya harus bisa mengukur diri untuk bisa secara maksimal bisa mengurusi orang banyak, lahir dan batin.
Saya membayangkan pimpinan kampung itu sebagai orang yang paripurna. Orang-orang yang akan memimpin kampung, dengan logika bahwa ia harus urusi semua hal warga, maka ia sudah selesai dengan urusan hidupnya. Kampung itu benar-benar sebagai tempat untuk mengabdi, bukan sebagai tempat untuk mendapatkan pekerjaan. Di sanalah orang-orang akan melakukan banyak pekerjaan yang melebihi dari apa yang dilakukan untuk diri dan keluarganya. Jangan lagi berpikir ada jam kantor karena seorang kampung idealnya memang harus bersedia membuka pintu walau ada yang ketuk tengah malam. Seperti orang yang selalu harus memperketat ikat pinggang. Tentu tidak semua orang mampu dan mau berposisi seperti itu, walau ikut dalam proses pencalonan. Mudah-mudahan semakin banyak orang kampung yang sejahtera.