Semua orang yang belajar hukum melalui jalur formal, tidak mendapatkan konsep hukum dalam satu makna. Dengan demikian, mereka juga tidak mendapatkannya dalam satu wajah, melainkan banyak wajah (multi fased). Menggambar wajah hukum sesungguhnya bukan perkara mudah dan tidak sederhana.
Sejumlah yang bermateri pengantar ilmu hukum, selalu menyertakan ragam konsep hukum dari berbagai sudut dan cara pandang. Kondisi ini sebenarnya dibentuk dari posisinya dalam meyakini aliran atau mazhab yang melatarbelakangi cara pandangnya itu.
Buku Satjipto Rahardjo dan buku Achmad Ali, menyebut sejumlah pendapat terkait apa yang disebut sebagai hukum. Pendapat para sarjana, yang bisa diinventarisasi dalam ragam aliran. Tentu saja, posisi aliran atau mazhab akan berbeda cara melihat lebih jauh terhadap hukum. Sejumlah buku hukum memperlihatkan adanya perbedaan cara memandang hukum dari masing-masing latar belakangnya, baik dari aliran hukum historis, realisme hukum, hukum alam, atau bahkan aliran positivism hukum (Rahardjo, 2006; Ali, 2015).
Konteks berhukum, tersedia satu konsep yang ada dalam buku Satjipto Rahardjo. Cara berhukum akan berhubungan dengan bagaimana cara hukum itu dilaksanakan. Dengan kata lain, bagaimana cara kita menjalankan hukum. Selama ini, jika merujuk pada buku-buku hukum progresif, menjalankan hukum masih didominasi dengan cara-cara berhukum tertentu yang dipaksanakan, terutama dalam bentuk yang didatangkan dan didatangkan dari luas. Satjipto Rahardjo menyebut kata “transformed and imposed”. Apa yang didatangkan tersebut, kemudian diberlakukan dalam tatanan sosial Indonesia yang lebih asli dengan sekalian nilai-nilainya.
Konsep yang lebih kongkret saya baca dari satu artikel Satjipto Rahardjo di Harian Kompas, yang menyebutkan cara berhukum sebagai cara menjalankan hukum. Berhukum memang dimulai dari teks, tetapi sebaiknya tidak berhenti sampai di situ. Teks yang bersifat umum itu memerlukan akurasi atau penajaman yang kreatif saat diterapkan pada kejadian nyata dalam masyarakat, yaitu melalui hukum dengan akal sehat. Hukum menjadi apa yang disebut sebagai institusi akal sehat (reasonable) dan bukan sekadar institusi penerapan teks (Rahardjo, 2008).
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.