Saya ingin memberi catatan terutama dalam hal berhukum, cara berhukum, dan konsepnya. Dua konteks makna dari cara berhukum saya temukan pertama kali dalam buku Ilmu Hukum yang ditulis Satjipto Rahardjo. Pertama, mendayagunakan hukum dalam hal menyelesaikan berbagai problem dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua, hukum yang digunakan berakar pada suatu komunitas, dimana komunitas tersebut dimulai dengan membangun suatu tatanan yang bersifat lebih alami, seperti tradisi dan kebiasaan. Ditegaskan Satjipto Rahardjo, hukum dalam masyarakat kita di Indonesia memiliki tradisi sebagai kontekstualisme, dimana seseorang di dalamnya sociocentric, bukan individual centric. Maka dalam konteks ini, filsafat kehidupan (arena) sosial yang mendasarinya adalah holism. Keterpaduan (cohesion) lebih diunggulkan dari pada konflik. Corak cara berhukum tipe ini, dalam iklim harmoni, maka konflik diredam (Rahardjo, 2006).
Konsep di atas mengajarkan kita akan makna hakiki dari harmoni –walau istilah ini tidak selalu selaras dengan pemahaman sejumlah aliran dalam ilmu hukum. Harmoni ingin membawa manusia kepada saling memberi manfaat satu sama lain.
Atas penjelasan yang tersebut itulah, sesungguhnya hukum harus dilihat lebih luas dari hanya sekedar teks undang-undang. Konteks berhukum, dengan demikian, melampaui dari apa yang sekadar diatur dalam undang-undang semata.
Ada penjelasan lugas dalam buku Satjipto Rahadjo, Biarkan Hukum Mengalir, Catatan Kritis tentang Pergulatan Manusia dan Hukum, bahwa masing-masing bangsa tentu memiliki corak cara berhukum, dimana dalam operasionalnya, ia tidak bisa dilepaskan dari akar-akar sosial dan kulturalnya. Cara berhukum itu bukanlah sesuatu yang masinal dan mekanistis, tetapi merupakan suatu bentuk kehidupan sosial yang khas (a peculiar form of social life) (Rahardjo, 2007).
Pemahaman cara berhukum semacam itu harusnya menjadi arus utama dalam memahami hubungan Aceh dan republik. Harus ada yang mendorong cara berhukum yang lebih dinamis, responsif, dan berorientasi pada keadilan sosial, dan bukan hanya terpaku pada teks aturan-aturan yang seperti hilang ruang sosialnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.