Menuju Legal Fishing

Ketika Susi Pujiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, ada satu hal yang digelisahkannya, terkait dengan berbagai modifikasi alat tangkap yang dasarnya termasuk illegal fishing, seolah-olah menjadi legal fishing hanya gara-gara namanya tidak diatur dalam kebijakan. …

Ketika Susi Pujiastuti menjadi Menteri Kelautan dan Perikanan, ada satu hal yang digelisahkannya, terkait dengan berbagai modifikasi alat tangkap yang dasarnya termasuk illegal fishing, seolah-olah menjadi legal fishing hanya gara-gara namanya tidak diatur dalam kebijakan. Kebijakan yang dimaksud adalah legasilasi alat-alat tangkap yang merusak lingkungan, seperti cantrang, pukat hela (trawl), dan pukat cincin (purseiners), serta kebijakan yang mengizinkan kapal ikan asing masuk ke wilayah Indonesia.

Sejumlat alat tangkap yang lima tahun lalu masih dilarang, kini sudah mulai dbuka. Sejumlah alat tangkap yang sekarang sudah sah digunakan, antara lain pukat cincin pelagit kecil dengan dua kapal, pukat cincin pelagit besar dengan dua kapal, payang, cantrang, pukat hela dasar udang, pancing berjoran, pancing cumi mekanis (squid jigging), dan huhate mekanis. Dalam konteks perikanan tangkap, Kementerian Kelautan dan Perikanan juga sudah merevisi peraturan perikanan tangkap, yang kembali mengizinkan kapal-kapal ikan berukuran di atas 200 gross ton (GT) beroperasi dengan persentase skala usaha sebesar 22 persen.

Sejumlah alat tangkap yang dilarang pada masa lalu, karena melihat substansi bahwa alat-alat tersebut tidak ramah lingkungan. Alat tangkap seperti pukat hela (trawl) dan pukat cincin (pursainers), misalnya, yang jaringnya ditarik oleh 2 kapal mampu menyedot isi laut berbagai ukuran ikan.

Kini alat tangkap yang bisa merusak lingkungan sudah termasuk dalam kategori alat yang sah dipakai, karena kebijakan sudah melegalkan. Saya jadi teringat saat berada di atas boat nelayan, menyaksikan bagaimana pukat-pukat nelayan lokal yang ditarik, menguras semua jenis dan ukuran ikan. Nelayan akan mengambil yang berukuran besar, sedangkan yang kecil dibuang dan mati. Namanya telah dikombinasikan sedemikian rupa, padahal substansinya sama, yakni merusak lingkungan.

Pelaku kebijakan bisa jadi berpikir bahwa melegalkan pukat tersebut terkait dengan usaha menaikkan pendapatan. Politik jika-maka sangat kentara. Jika mengizinkan ini, maka akan menghasilkan itu. Dan menutup mata rapat-rapat tentang dampak bagi masa depan.

Saya berharap mari berhitung-hitung tentang dampak yang sudah di depan mata ini. Di sini membutuhkan pelaku politik yang berpikir tentang masa depan isi laut, bukan bagaimana cara mengurasnya. Pelaku politik itu biasanya berada di darat. Dari tahun ke tahun, jarang ada orang laut yang berada dan berdebat tentang politik dan kebijakan di darat. Jadi nelayan menggantungkan apapun kebijakan dan politik laut mereka, melalui orang darat. Kita berharap, politik pukat dari orang-orang darat ini akan ramah bagi mereka yang berpendapatan dari isi laut.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment