Bantuan sosial, selalu harus dikaitkan dengan mentalitas. Mental meugade. Seorang yang memiliki kemampuan, tetapi banyak yang mengemis. Mereka yang berdasi, tetapi juga mengemis dalam bentuk lain. Itu bentuk-bentuk mental yang saya maksudkan.
Godaan bantuan begitu kuat dan menjadi alasan orang yang tidak mau jujur. Bukan sekarang saja fenomena itu terlihat. Pada posisi terjepit saja, misalnya setelah tsunami. Saat korban tsunami ada yang belum dapat rumah, ternyata ada orang yang tidak korban tetapi mendapat bantuan, malah lebih dari satu. Coba bayangkan saat orang lain sedang tidak memiliki tempat tinggal, ada orang yang menyewakan rumah dinasnya.
Rumah dinas, bahkan di kampus, pernah ada yang menyewakan, padahal banyak yang lain, mereka yang pendapatan rendah, tetapi belum memiliki tempat tinggal, sehingga harus sewa.
Orang mau berperilaku tidak benar, tidak lurus, dan tidak mau apa adanya, adalah soal mental. Barangkali ada masalah dengan mental kita yang sedang sakit. Orang-orang yang berjiwa demikian, tidak akan mendapat hukuman sosial apa-apa karena mereka juga memiliki kontribusi sosial untuk waktu-waktu tertentu.
Mengapa orang mau menerima yang bukan haknya? Mengapa orang tega mengambil jatah orang lain, padahal kebutuhan hidupnya sudah lumayan mencukupi? Pertanyaan semacam ini, tidak bisa dijawab melalui apa yang terlihat saja, melainkan harus dengan melihat proses pemahaman dan pemaknaan. Dua posisi ini (pemahaman dan pemaknaan) seharusnya strategis dilakukan orang pandai. Namun ironisnya sebagian orang pandai menjadi bagian dari fenomena penyakit sosial yang harus diselesaikan.
Mengapa orang begitu tega mengakui sebagai orang miskin demi mendapatkan sejumlah bantuan, padahal realitasnya tidak miskin? Di satu sisi bisa jadi soal kesempatan. Di sisi lain, ada masalah mental yang rusak, ada orientasi peradaban yang tidak jalan, ada realitas kebersamaan sosial yang sedang oleng.
Jangan lupa, orang-orang kecil juga memahami apa yang dilakukan orang besar. Jangan mengira orang kecil tidak sedang mengamati bagaimana perilaku orang-orang besar. Momentum tertentu dijadikan alasan bagi sebagian mereka untuk melakukan hal yang sama: tidak jujur.
Kondisi kehidupan sosial yang sedang tidak baik-baik saja, sepertinya sudah mengharuskan kita untuk melihat masalah secara utuh dan radikal. Kerusakan sosial di berbagai lini, tidak bisa lagi dibiarkan terus berlarut karena akan menghancurkan kita semua. Harus ada orang-orang besar yang mau menjadi contoh yang baik, teladan yang bagus.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.