(Tiba-tiba menemukan salah satu opini lama, yang dimuat Harian Serambi Indonesia, 7 Februari 2002). Mudah-mudahan bermanfaat
Gerakan mahasiswa, di mana saja, merupakan kekuatan utama pendobrak kekuasaan yang salah kaprah. Dalam mewujudkan idealisme pembangunan yang berbasis demokrasi, keberpihakan kepada rakyat, egaliter, kebenaran dan keadilan, mahasiswa –sebagai kelompok yang masih jauh dari kepentingan-kepentingan politik praktis– sudah menjawab sejarah otoritarian kekuasaan. Politik praktis yang dimaksudkan adalah bukan politik untuk mengoreksi kekuasaan, melainkan politik yang tidak beretika yang sifatnya saling memanfaatkan dalam mewujudkan bentuk pembangunan tadi.
Peran seperti itu sangatlah dimungkinkan, karena kampus memang memiliki banyak “referensi” dan nurani keberpihakan. Komitmen sosial seperti itulah yang harus kembali dipertanyakan, mengingat kondisi aktual di Indonesia sekarang ini, sistem politiknya makin dipermainkan elite politik yang hanya mengejar kepentingan individual dan partai atau golongannya.
Siapa yang duduk di bangku kekuasaan, itulah orang yang akan diselamatkan elite politik. Para aktivis partai politik sekarang ini hanya berpikir untuk memperjuangkan dua hal; (a) kekuasaan apa saja yang akan diperolehnya, partai atau golongannya, dan (b) siapa yang akan didudukkan di bangku kekuasaan yang bisa menguntungkan mereka. Semua itu, dilakukan tidaklah mencerminkan kedaulatan rakyat. Makanya secara logika, segala perjuangan mereka hanya untuk lingkungan kekuasaan ekslusif.
Dua masalah itu, dapat menjadi dasar untuk membangun gerakan moral kembali, dalam rangka mengoreksi kekuasaan untuk berpihak kepada kebenaran, kedaulatan rakyat, agar kekuasaan jangan salah kaprah. Ekspresi perjuangan kebenaran atas dasar dua kerangka persoalan di atas, mutlak diperlukan. Makanya, komitmen reformasi yang telah dipancangkan mahasiswa, dengan menantang kekuasaan yang otoriatrian dan ketidakbenaran dalam sejarah 1966 dan 21 Mei 1998, perlu dibangkitkan. Agar catatan sejarah itu tidak menjadi pajangan semata.
Adanya ungkapan bahwa meruntuhkan rezim lebih mudah daripada menjaga rezim, merupakan lukisan filosofis pemaknaan kontrol sosial (social control) terhadap kekuasaan. Mahasiswa adalah kekuatan utama untuk itu. Ketika sosial kontrol melemah, yang terjadi adalah rezim yang tak bisa –atau bahkan tak mau– menuntaskan segala persoalan, mulai dari kemanusiaan, kolusi, korupsi, dan nepotisme. Kalau tak diperbaiki –atau bahkan diruntuhkan—maka jadilah gerakan mahasiswa sebagai pajangan catatan sejarah reformasi yang telah ditoreh dengan keberhasilan dalam sejarah di atas.
***
Mahasiswa harus kembali mengikat erat tali pinggang. Mahasiswa sudah harus “merestrukturisasi” gerakan idealnya. Gerakan mahasiswa harus didaur-ulang, agar mahasiswa mampu memahami kembali tujuan dari aksi-aksinya, sebagaimana dipahami sebelum reformasi berlangsung di Indonesia.
Aksi-aksi mahasiswa sebagai sosial kontrol, merupakan bentuk ideal koreksi dari jalannya sebuah kekuasaan. Kemandirian moral sebagai landasan gerakan, sebagaimana gerakan reformasi, kini mulai dibutuhkan lagi. Inilah yang kemudian menjamin suatu kekuatan akan berpihak kepada kebenaran, dan melepaskan diri dari segala kepentingan lain selain kepentingan kebenaran itu (lihat, Arbi Sanit, Pergolakan Melawan Kekuasaan; Antara Aksi Moral dan Politik, Pustaka Pelajar, 1999).
Tujuan membangkitkan kembali gerakan ideal seperti itu, merupakan upaya memberi dan menguatkan legitimasi rakyat sebagai pemegang kedaulatan yang sah. Gerakan itu pula dibutuhkan untuk titik kritik atas kebijakan ekonomi negara. Targetnya, tentu saja penguatan ekonomi.
Sekarang kita sedang menyaksikan elite politik di Indonesia yang saling mencakar. Tak pantas, sikap kejar-mengejar kekuasaan seperti itu mewakili kedaulatan sah yang seharusnya dimiliki masyarakat. Beberapa partai, selain saling berebut kuasa, tak jarang secara terang-terangan memproklamirkan bahwa yang diperjuangkan adalah partai dan golongannya.
Dengan perlawanan terhadap hegemoni kekuasaan di atas, paling tidak ada suatu wacana yang timbul, bahwa saat ini misalnya, Ketua Umum PDIP Megawati Soekarnoputri yang memegang kuasa, tak lantas PDIP terang-terangan berbuat hanya untuk menyelamatkan Megawati. Demikian juga ‘partai’ Amien Rais, Hamzah Haz atau Akbar Tanjung. Mereka tak usahlah mempraktekkan bentuk-bentuk “pencurian” kedaulatan dengan melupakan pemberi kedaulatan yang sah.
Dalam konteks ini, bila kita beranggapan kekuatan mahasiswa sebagai intelektual, maka tak ada jalan lain selain harus memperjuangkan fungsi intelektual itu sendiri. Intelektual harus mempertahankan integritas, walaupun di luar kekuasaan ia akan terbentur dengan kekuatan kekuasaan sebagai pengambil sikap dan penentu kebijakan.
Urgensinya, kita ingin mengingatkan ungkapan Shills (Arbi Sanit, 1999), bahwa intelektual memiliki enam fungsi. Pertama, intelektual harus senantiasa menciptakan dan menyebarkan kebudayaan tinggi. Dalam konteks perjuangan politik, peran ini sangat ideenleer, namun tetap harus diperjuangkan. Pentingnya, agar masyarakat –termasuk elite politik– kita tidak mengembangkan budaya permisivisme dalam menjalankan atau melihat pelaksanaan kekuasaan.
Kedua, intelektual juga harus menyediakan bagan-bagan nasional dan antar bangsa. Perdebatan kehidupan ketatanegaraan, telah mulai diperbincangkan oleh filsuf-filsuf besar. Pemikiran mereka masih menjadi referensi atau realitas sebagian besar kekuasaan dan pemikir masa kini. Katakanlah Machiavelli di satu pihak, memberi inspirasi teknik menjalankan kekuasaan. Sementara, di lain pihak misalnya juga ada Hobbes, yang memperbincangkan ikatan sosial –termasuk dalam menjalankan kekuasaan. Jadi intelektual berperan untuk membenarkan segala macam politik kekuasaan yang tak beretika.
Ketiga, membina keberdayaan umat. Beberapa kalangan menyebutkan bahwa membuat masyarakat berdaya, haruslah dengan bentuk civil society. Jatuhnya Soeharto, tumbangnya otorianisme dan sistem monolitik, dalam sejarah kontemporer Indonesia, merupakan bagian dari langkah mencapai umat yang berdaya dalam bentuk civil society itu. “Namun di balik itu harus dapat dipahami bahwa menjatuhkan rezim akan lebih gampang daripada menata demokrasi. Sebab untuk berjuang membentuk kehidupan yang demokratis, akan terbendung dengan kepentingan-kepentingan para rezim bangsa yang beraneka ragam” (Amien Rais, Politik Adiluhung, 1998, Wacana Mulya Bandung).
Keempat, mempengaruhi perubahan sosial. Fungsi ini membutuh-kan landasan. Perubahan sosial merupakan sebuah harapan. Landasan yang dijadikan adalah konsep atau gagasan kemandirian dalam mengoreksi kekuasaan. Budaya politik yang tunggal dan ketakadilan, diubah ke dalam kehidupan yang berkeadilan sosial, bernuansa musyawarah, konsensus, mengutamakan kepentingan publik, melalui kebijakan-kebijakan yang berorientasikan kepada kemaslahatan rakyat.
Kelima, memainkan peran politik. Peran politik akan balance dengan sumberdaya intelektual, tepatnya dalam masalah ini adalah mahasiswa. Sumberdaya mahasiswa, melahirkan tanggung jawab bagi mereka untuk memainkan peran politik. Hal ini disebabkan adanya ilmu pengetahuan, kritis, tegas dalam penentuan kehidupan politik, serta idealisme.
Keenam, memainkan peran sosial lainnya, mulai sebagai pemikir, pemimpin, dan pelaksana.
Dari keenam fungsi, tak berlebihan bila kemudian mahasiswa mampu memahami alam realitas. Arbi Sanit berpendapat, pemahaman itu sebagai kekuatan kolektif, juga sebagai penerus kesadaran masyarakat, menumbuhkan kesadaran untuk menerima alternatif perubahan. Paling tidak, perubahan politik negara yang sekarang cenderung saling mengkapling, saling menyelamatkan kelompok atau partai, bukan menyelamatkan masyarakat, negara dan bangsa.