Saat pulang kampung kemarin, azan magrib terdengar seadanya ketika kami menjelang masuk kampung. Kami melaksanakan shalat magrib hingga di rumah. Semalam, kami berkunjung ke sejumlah tempat yang bisa diakses. Tempat-tempat yang sudah dibersihkan dan sudah kering. Paginya, saya sendiri berkeliling ke sejumlah tempat, termasuk yang masih penuh dengan bubur lumpur. Pikir saya, ini bukan lumpur biasa. Bersamaan dengan saya lihat sejumlah foto yang dikirim, potongan-potongan pohon yang sungguh bukan perkara main-main. Pasti ada penjahat lingkungan yang turut memperparah kondisi alam hingga masyarakat umum yang mendapatkan penderitaannya.
Saya berusaha membantu apa adanya, termasuk membersihkan sejumlah tempat. Hingga setelah dhuhur, kami kembali ke Banda Aceh, masih singgah juga di sejumlah titik. Bahkan sejumlah warga sedang membersihkan rumah dengan mesin yang dipinjam dari orang lain. “Minyak dari mana,” saya tanya. Ternyata semalam, mereka antre minyak dan mendapatkan masing-masing satu botol air mineral minyak, dengan harga normal, di Pertashop kampung. Dengan bekal minyak itu, mereka menggunakan untuk mesin, dan sekedarnya untuk roda dua.
Saat keluar dari rumah, kami masih melihat-lihat sejumlah tempat. Kami juga mengambil foto. Hingga kami berhenti di pinggir jalan yang dekat sungai, melihat aspal yang terkelupas hebat. Ada dua orang yang memantau kami. Setelah kami foto lokasi dan mau jalan, salah satu orang tersebut menyetop. “Mau ambil data?” tanyanya.
Saya mengenal seluruh orang-orang di sini. Sebaliknya, tidak semua mereka mungkin mengenal wajah saya, walau nama, mereka tahu. Dia menyetop juga bisa jadi melihat kendaraan yang kami pakai, plat merah. “Pat rumoh?” tanya saya? “Pakok data?” tanya saya lagi, sebelum ia menjawab menjawab yang pertama.
Ia melihat kami. Saya salami. Ternyata ia penasaran dengan kendaraan kami yang orang di dalamnya turun berfoto-foto. “Pat rumoh?” saya tanya lagi. Ternyata orang yang satu lagi membisikinya, siapa kami. Lantas dijawab, “ooo droen lagoe”.
Kami berangkat pelan meninggalkan kampung. SPBU Paru Cot, antre kendaraan mengular hingga menjelang pasar Paru. SPBU Blang Malu sepertinya sedang kosong, walau kendaraan berhenti di dalamnya. SPBU Beureunuen juga kosong. SPBU Bambi, pengantre juga mengular.
Soal bagaimana kebutuhan, penting untuk dipikirkan. Dari orang kampung, kami tahu ada dua menteri yang berkunjung ke Pidie Jaya, sore sebelumnya. Saya melihat sejumlah pernyataan bupati yang menyerah pada kondisi. Mereka tidak mampu menangani dampak banjir –genap dengan penderitaan sosial masyarakatnya. Sedangkan pemerintah pusat, sepertinya hingga sore ini, belum ambil pusing. Bisa jadi pemerintah sedang takut kehilangan anggaran untuk bencana dan terkurangi anggaran makan gratis. Daerah bencana, sepertinya harus banyak bersabar.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.