Banjir yang terjadi di kampung saya: sebanyak 18 kabupaten dan kota di Aceh merasakan dampak serius dari bencana ini, bisa jadi cermin liar dari bagaimana cara pandang antroposentrisme menggerogoti kita. Saya tidak habis pikir bagaimana gunung gayu gelondongan terlihat sepeninggal dari bencana. Bukankah ini menjadi pertanda ada banyak pemain dalam mengelola alam?
Saya pulang kampung, Pante Raja, sehari sesudah banjir. Kondisi ini praktis setelah hujan pertama 22 November 2025, dan hingga tanggal 25 November memuncak. Sejak pagi, adik saya mengirimkan satu foto kondisi dalam rumah. Soal foto, sudah tidak terlalu ambil pusing. Sebenarnya salah jika sudah pada titik imun. Tetapi mau bilang apalagi, ketika awan di selatan kampung tampak menggumpal, ibu selalu menyuruh anaknya untuk bersiap-siap. Bahkan perintah itu sering saya dengar saat saya sedang ditelepon ibu.
Apa yang saya sebut imun, pada dasarnya karena bagi warga kampung, orang tua seperti ibu saya, nyaris tidak lagi gugatan setiap saat banjir bisa menghinggap ke dalam rumah. Bahkan, sangking seringnya, ibu saya yang sudah terbatas daya pandang, selalu mengingatkan untuk bersiap-siap itu: menaikkan lemari makanan ke atas meja; karung-karung padi dinaikkan ke atas dipan bekas yang sudah tak terpakai; semua peralatan masak dibawa naik ke rumah atas –rumah panggung yang masih kami pertahankan.
Itulah alasannya, ketika adik saya mengirimkan foto, saya hanya melihat sekilas, dan mungkin setelah itu pun, saya sendiri lupa. Tetapi dalam hujan lebat, tiba-tiba listrik mati, alat komunikasi tidak bisa digunakan, dan kami sudah tidak bisa bertukar kabar: baru kami tersentak. Dari senyap-senyap, terdengar delapan tiang listrik raksasa, roboh diterjang angin dan banjir. Para ahli menyebut siklon senyar.
Saat berpikir buntu, terlihat di samping rumah yang sudah penuh genangan air. Di Gampong Limpok (Darussalam), saya juga tinggal tak jauh dari sungai –persis seperti posisi rumah di kampung. Hanya saja sungai di sini, nyaris tidak pernah meluap. Selama tinggal di sini, baru dua kali –tapi kali ini lebih tinggi. Genangan ini pun tidak terlalu ambil pusing karena mengira besoknya, akan mengering sendiri. Apa yang terjadi, ketika besok pagi, ternyata air semakin meninggi, dan saat itu sudah mendengar gemuruh pintu air yang dibuka dengan suara yang menggelisahkan. Kendaraan kami bawa keluar, nyaris persis seperti off road, untuk diparkir di pinggir jalan. Pada posisi ini pun, kami juga nyaris tidak ambil pusing. Saat merenung-renung di kala senggang, ternyata nyaris sudah sampai pada tingkat tidak mau sebegitu posisi saya terhadap lingkungan sekitarnya.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.