Saya mendengar sejumlah gugatan, kini. Khususnya yang terkait dengan keberadaan lampu lalu lintas di kampus. Posisi kampus Darussalam, sebenarnya dibelah oleh jalan umum. Telah ada upaya sebelumnya untuk membuat jalan lingkar, namun belum jalan. Akhirnya jalan tengah ini tetap yang dipilih bagi pengguna.
Di persimpangan dalam kampus itulah, dibuat satu lampu untuk mengatur kepentingan bersama. Parahnya, lampu ini sering dilanggar para pengguna jalan. Tentu saja yang berimbas adalah masyarakat kampus, karena diduga banyak orang kampus yang juga melanggar. Mereka yang tidak berhenti di lampu lalu lintas, juga orang-orang yang dari segi pendidikan sesungguhnya sudah mapan.
Melanggar lampu lalu lintas, rasanya seperti anak kecil yang sudah lupa pada narasi lagu yang waktu kecil dinyanyikannya. Lampu lalu lintas diperkuat dengan perbedaan warna yang memberi perintah yang berbeda. Sejak sekolah taman kanan-kanak, warna lampu ditanamkan lewat lagu-lagu. Lampu merah berhenti, kuning jaga-jaga, hijau mari jalan. Begitulah isinya. Seyogianya ketika dewasa, perbedaan ini sudah tertanam dalam jiwa kita.
Pada tataran etis, lampu lalu lintas ingin memberi kesempatan kepada sesama pengguna jalan. Saat hak kita untuk jalan, yang ditegaskan melalui lampu hijau, ada pembatasan orang lain di sudut yang lain dengan lampu merah, yang berarti berhenti.
Secara hukum, pembatasan ini kemudian dikonkretkan dengan adanya pelarangan secara tegas, sehingga kalau ada yang tidak mengindahkan, akan ditindak sebagai bukti pelanggaran (tilang).
Masalahnya adalah ada realitas yang tidak sama dari orang yang memandang hukum. Masing-masing bisa jadi memiliki tingkat yang berbeda dalam memahami hukum ke dalam jiwanya.
Salah satu teoritisi hukum dan masyarakat, Antonie G. Peters, menyebut salah satu perspektif hukum sebagai pengatur ketertiban (social control). Dua fungsi lain, menurutnya adalah rekayasa sosial (social engineering) dan emansipasi masyarakat terhadap hukum (the bottoms up view of law).
Perspektif ketertiban hukum, ditamsilkan Peters seperti polisi yang memandang hukum. Berbeda dengan dua lainnya. Perspektif rekayasa sosial, seperti pejabat penguasa dengan hukum. Era yang maju, diharapkan hukum itu semakin responsif, dengan mengajak orang awam berpikir tentang hukum yang akan mengatur kehidupan mereka.
Realitasnya dalam kacamata awam, sepertinya yang dimaknai hukum bukan teks yang melarang seseorang melaju saat lampu berwarna merah, melainkan pada keberadaan petugas yang memberi petunjuk seseorang bisa jalan atau tidak. Konsep ini juga yang disebut Soerjono Soekanto, seorang ahli hukum yang juga sosiolog hukum, sebagai salah satu konsep hukum bagi masyarakat.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.