Organisasi nonpemerintah, yang bergerak dalam upaya melestarikan lingkungan dan sumber daya alam, lembaga Auriga Nusantara, tahun 2024 menyebut angka deforestasi 261,5 ribu hektare, naik dari 257,4 ribu hektare tahun 2023 (Pristiandaru, 2025).
Peningkatan data dan angka deforestasi berdasarkan Auriga Nusantara, dilakukan penghitungan melalui tiga tahapan. Pertama, mendetaksi dugaan deforestasi dengan dua pendekatan, yakni memanfaatkan data publik yang disediakan Universitas Maryland, dan membandingkannya dengan data bulanan sepanjang 2024 dengan data tutupan 2017. Data dari dua pendekatan ini digabungkan dan diperoleh dugaan angka deforestasi. Kedua, inspeksi visual dengan memeriksa satu per satu perubahan tutupan hutan menggunakan citra satelit beresolusi tinggi. Ketiga, pemantauan langsung ke lapangan, ke lokasi tempat dugaan deforestasi (Pristiandaru, 2025).
Menurut data dari lembaga Auriga Nusantara, sebanyak 59% angka deforestasi terjadi di kawasan konsesi. Hal ini mengindikasikan adanya deforestasi legal. Pasalnya tutupan vetegasi tersebut terjadi pada wilayah yang diberikan izin oleh pemerintah untuk membuka hutan. Bahkan lembaga ini berani menjamin bahwa hanya 3% saja deforestasi yang terjadi secara ilegal. Hal fatal lainnya adalah belum ada payung hukum yang melindungi kawasan hutan alam selain kawasan konservasi (Pristiandaru, 2025).
Hal yang penting diingatkan lembaga ini, bahwa deforestasi tidak sekedar hilangnya tutupan hutan dan tumbuhan. Deforestasi menghancurkan rumah satwa langka, endemik, dan ikonik. Satwa langka yang ditemui –salah satunya misalnya Taman Nasional Gunung Leuser (TNGL)—antara lain orangutan Sumatera, Harimau Sumatera, gajah Sumatera, dan badak Sumatera. Menariknya, empat satwa penting ini bisa hidup berdampingan di hutan ini –dan satu-satunya kawasan hutan di Indonesia yang memiliki kekayaan dan kondisi berdampingan ini (Fajri, 2022).
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.