Awalnya hukum lingkungan terbatas pada hukum gangguan (hinderrecht) yang sifatnya sederhana dan aspek keperdataan. Lambat laun posisi perkembangannya bergeser ke publik disebabkan keharusan adanya ikut campur tangan penguasa dalam mengurusi sendi kehidupan masyarakat yang semakin meluas dan kompleks. Pada posisi ini muncul segi hukum lingkungan administratif apabila keputusan penguasa tersebut yang bersifat kebijaksanaan dituangkan dalam bentuk penetapan (beschikking). Inilah yang menjadi alasan posisi konteks kebijaksaan hukum lingkungan yang disebut dalam buku Hukum Lingkungan (Rangkuti, 2015).
Keterlibatan penguasa dalam berbagai sendi kehidupan bukanlah sesuatu yang berlebihan. Negara hukum Indonesia sendiri harus memastikan kesejahteraan rakyat dan segenap bangsa dalam makna yang luas (Tripa, 2025). Dengan kata lain, dalam konteks hukum lingkungan, ada sebab yang harus dipahami yakni pada keterlibatan manusia sebagai penentu rusaknya lingkungan hidup (Dewi, 2012).
Dengan demikian, keterlibatan dari awal penguasa untuk memastikan perlindungan dan pengelolaan lingkungan hidup harus dipastikan berlangsung dengan baik. Bahkan untuk memastikan hal tersebut, pengelola negara harus memiliki dan memastikan politik hukum lingkungan yang baik dan berbasis nilai-nilai dasar negara.
Politik hukum lingkungan sudah banyak dibahas. Guru Besar Ilmu Hukum Universitas Andalas, Prof. Dr. Takdir Rahmadi, S.H.,LLM, yang memberi pengantar untuk buku yang ditulis Dr. Muhammad Akib berjudul Politik Hukum Lingkungan, menjelaskan posisi bahwa hukum lingkungan merupakan cabang disiplin ilmu hukum yang berkaitan dengan pelaksanaan pengaturan perlindungan lingkungan dan pemanfaatan sumber daya alam. Sebagai cabang hukum baru yang memiliki karakteristik yang khas, tentu memiliki orientasi dan arah kebijakan yang khas pula, yang disebut sebagai politik hukum lingkungan. Masalahnya ketentuan hukum lingkungan adakalanya tidak merefleksikan politik hukum yang berorientasi pada keberlanjutan ekologis secara holistik (Akib, 2013)
Hal tersebut yang sebenarnya menjadi alasan bahwa buku ini tidak ingin melepas-kaitannya hukum lingkungan dari arena utama kajian sumber daya alam. Walau bukan kajian yang sederhana, dan kajian hukum SDA punya arena sendiri, pengelolaan SDA menjadi ruang utama bagi hukum lingkungan.
Lebih jauh, konteks ini berujung pada penegakan hukum lingkungan sebagai mata rantai terakhir dari siklus pengaturan (regulatory chain), perencanaan (policy planning) tentang lingkungan, yang urutannya adalah: (1) perundang-undangan (legislation, wet en regelgeving); (2) penentuan standar (standard setting, norm setting); (3) pemberian izin (licencing, vergunning verening); (4) penerapan (implementation, uitvoering); dan (5) penegakan hukum (law enforcement, rechtshandhaving) (Hamzah, 2005).
Apa yang disebutkan Andi Hamzah di atas, menegaskan pentingnya pemuliaan hukum dengan penegakannya. Bahkan Satjipto Rahardjo dengan menyebut ungkapan yang pernah disampaikan Prof. Mr. Paul Scholten, bahwa setiap hukum itu memang perlu dilaksanakan, diimplementasikan dengan baik. ketika hukum tidak dilaksanakan –dalam makna yang lebih sempit ditegakkan—maka sama posisi seperti matinya hukum. Pada posisi ini, sebuah negara seperti sedang tidak ada hukum di dalamnya (Rahardjo, 2006).
Dengan demikian, bisa ditegaskan pembidangan apapun dari hukum lingkungan, akan mulia posisinya dalam ruang hukum lingkungan, saat ia dilaksanakan dengan baik; diimplementasikan dalam alam realitas. Ada pemuliaan hukum saat hukum dilaksanakan dengan baik.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.