Tidak boleh dilupakan akar masalah –antara lain timbulnya korban yang berakhir pada masalah harkat dan martabat. Seyogianya ketika masalah ingin diselesaikan, maka kembali ke tali konsensus menjadi sangat penting. Semua pihak yang terlibat, untuk kembali kepada apa yang menjadi konsensus untuk dapat dijalankan kembali dengan baik.
Catatan lainnya soal bagaimana kisah konflik dirawat terkait dengan upaya agar kisah-kisah kelam yang pernah terjadi, tidak pernah terulang kembali. Memperkenalkan kisah-kisah yang pernah dialami generasi sebelumnya, untuk generasi seterusnya, pada dasarnya sebagai titik pijak dalam menjaga agar semua yang kelam tidak pernah terulang kembali.
Saya kira, banyak negara beradab di dunia ini dengan bersahaja merawat kisah-kisah kelam negerinya berbagai cara. Mendirikan museum, menghadirkan tugu tertentu, bahkan bangunan tertentu untuk mengingat agar tidak terulangi kisah kelam negeri mereka. Bukan dengan menguburnya dalam-dalam lalu memberi yang tidak masuk akal.
Hadirnya MoU merupakan pengakuan secara langsung bahwa di Aceh pernah terjadi sesuatu yang tidak manusiawi. Dengan MoU, sebagai bentuk tertulis, ingin menjadikannya sebagai perisai agar tidak terulangi. Maka memaknai MoU harus dilakukan sampai ke relung hati.
Mudah-mudahan sudah cukup korban hingga MoU. Tidak muncul lagi konflik yang akan menambah beban bagi generasi Aceh sekarang dan yang belum lahir. Berdasarkan catatan dari buku Al Chaidar, Sayed Mudhahar Achmad, & Yarmen Dinamika, jumlah korban dari rangkaian konflik Aceh mencapai 35 ribu (Chaidar, Achmad, & Dinamika, 1998). VoA Indonesia yang mengutip Amnesty International mencatat 10-30 ribu korban jiwa (Lamb, 2013; BBC, 2023). Bukan soal mudah untuk menghitung-hitung jumlah korban. Pihak yang menjadi korban pun sangat beragam. Sipil yang harus mendapat perhatian utama. Hal yang pasti bahwa setiap konflik pasti akan muncul korban. Dan hal yang harus diingat pula, ingatan tentang konflik akan membekas dalam ingatan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.