Dari MoU ke UUPA

Ada dua pertanyaan terkait yang juga harus terjawab, yakni: Pertama, apakah semua isi MoU tertampung dalam UUPA? Dalam hal UUPA, Pemerintah berusaha semua poin dalam MoU yang menjadi konsensus untuk diatur dalam UUPA. Hanya saja …

Ada dua pertanyaan terkait yang juga harus terjawab, yakni: Pertama, apakah semua isi MoU tertampung dalam UUPA? Dalam hal UUPA, Pemerintah berusaha semua poin dalam MoU yang menjadi konsensus untuk diatur dalam UUPA. Hanya saja sampai sekarang, belum semua poin tersebut berjalan sebagai konsensus. Kondisi ini bisa dipahami karena kewenangan untuk melaksanakan dua hal tersebut berada di dua lembaga berbeda. MoU ditandatangani oleh pemerintah, sementara kewenangan pembentukan UUPA ada pada dua lembaga pembentuk undang-undang, yakni lembaga eksekutif-legislatif. Dengan lembaga yang berbeda, maka tafsir atas apa yang disepakati juga berbeda. Berbagai perbedaan pandang inilah antara lain yang dirasakan hingga sekarang ini, yang harus diselesaikan dengan baik.

Kedua, apakah apa yang diatur dalam UUPA sudah semuanya dituntaskan dalam implemenetasinya? Pertanyaan ini juga sangat penting, karena pada kenyataannya masih ada beberapa ketentuan pelaksana UUPA hingga kini masih belum tuntas. Patut diingat bahwa ketentuan pelaksana tidak hanya apa yang menjadi kewajiban pemerintah (Jakarta). Pada kenyataannya, belum semua qanun diselesaikan tingkat Aceh.

Kedua pertanyaan ini (normatif dan sosiologis) sangat penting untuk dijawab. Konon lagi berbagai kekurangan dalam proses pembentukan hukum akan menjadi masalah hukum tersendiri, terutama bisa memunculkan suasana “kekosongan” hukum. Dalam hal ini, hukum yang seharusnya diatur dengan UUPA, akan tetapi karena belum selesai ketentuan pelaksana, tidak bisa dioperasionalkan. Dalam konteks Aceh, sepertinya dua posisi sekarat juga harus dipahami: antara perbedaan pandang di satu pihak, dan kemauan politik di pihak lain. Baik cara pandang dan kemauan politik adalah dua hal yang sangat terbuka peluang untuk diselesaikan oleh Pemerintah (Jakarta) dan Pemerintahan Aceh. Proses penyelesaian keduanya akan memperlihatkan titik kait terpenting dalam sebuah undang-undang, yakni politik, hukum, dan kepentingan.

Sebuah UU yang lahir dan bertujuan untuk mengatur kekhususan (dan keistimewaan), pada dasarnya memberikan kesempatan bagi Aceh untuk mengatur dirinya. Konsep ini berfungsi untuk memberi keleluasaan walau dalam realitas, keleluasaan itu dipangkas. Padahal seharusnya pemerintah melihat implementasi otonomi khusus sebagai wujud dari pengintegrasian nilai-nilai lokal dengan keutuhan NKRI (Aryana, Choirunnisa, Rahman, & Immanuel, 2024).

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment