Ekologi Capra

Bencana banjir Aceh, apakah dalam konteks lingkungan, posisi kita memang sudah tidak berdaya? Soal bagaimana idealnya kita melihat lingkungan. Ketika ada yang persoalkan kebijakan, bisa jadi kita berpikir, toh, bukan urusan kita; ketika ada aktivis …

Bencana banjir Aceh, apakah dalam konteks lingkungan, posisi kita memang sudah tidak berdaya? Soal bagaimana idealnya kita melihat lingkungan. Ketika ada yang persoalkan kebijakan, bisa jadi kita berpikir, toh, bukan urusan kita; ketika ada aktivis lingkungan yang koar-koar tentang ada yang salah dengan kebijakan, kita malah berpikir, kok, rumit amat. Maka bukankah ada yang sakit dalam diri kita ketika tidak mau tahu tentang apa yang terjadi dengan lingkungan?

Saya agak takut pada posisi imun, sudah menjalar ke titik yang lebih dalam: soal tidak mau tahu terhadap dampak yang mungkin ditimbulkan dari kerusakan lingkungan. Semua yang dilakukan pada satu hal, pasti akan berdampak pada hal yang lain. Terawang ibu saya, yang selalu memerintahkan siap-siap saat awan menggumpal di selatan, sungguh sebagai alarm bahwa alam kita sedang bermasalah. Tapi bermasalah alam ini harus dilihat kontribusi tangan manusia sebagai pemicunya.

Saya kira inilah alarm alam. Apa yang terlihat sepanjang 22-27 November 2025, yang dampak seriusnya mungkin akan terasa hingga bertahun, sungguh disebabkan oleh serangkaian aktivitas lainnya dari manusia yang secara tak beradab dalam memperlakukan alam. Kerusakan saat ini, berasal dari untaian yang terjadi jauh sebelumnya –yang kita sudah tidak peduli bahkan sudah imun untuk sekedar menolaknya.

Soal bagaimana keterkaitan itu, izinkan saya yang masih belajar ingin menyentuh sedikit apa yang disebut Fritjof Capra dalam bukunya The Web of Life, A New Synthesis of Mind and Matter (Capra, 1997). Buku ini menarik, karena sejumlah gagasan di dalamnya begitu penting dengan cara berpikir yang holistik.

Izinkan terlebih dahulu saya sentuh nama Capra. Seingat saya, ada dua kesempatan saya mendapatkan nama ini –yang membekas hingga sekarang—nama yang kemudian begitu mengena, dengan sejumlah karya yang selaras dengan daya tangkap keilmuan saya yang masih minimalis.

Kesempatan pertama kali saya tahu nama Capra, dari Pembantu Rektor Bidang Akademik Universitas Syiah Kuala, Darni M. Daud, Ph.D –menjadi Rektor Universitas Syiah Kuala periode 2006-2010 dan 2010-2014—yang saat itu berkenan memberi sambutan untuk buku kedua yang saya tulis saat masih menjadi mahasiswa, yang berjudul Mencari Bumi yang Tak Gelisah. Dalam pengantar tersebut, Darni M. Daud menulis, “Sejumlah ilmuan telah mengakui pentingnya membangun jaring kehidupan, termasuk dengan alam sekali pun, agar manusia dalam menggapai kedamaian. Fritjof Capra, misalnya, menyatakan betapa kehidupan di alam semesta ini didasari dan disarati nilai sistemik di mana antara satu komponen dengan yang lainnya memiliki benang merah yang tidak dapat dipisahkan. Ilmuan ini bahkan mengatakan bahwa suatu bidang ilmu yang telah dispesialisasikan sedemikian rupa ternyata tidak dapat dipahami lebih jelas tanpa menerima bantuan ilmu lain. Maka, seirama dengan Capra, realitas semakin banyak tumbuh bidang keahlian yang membutuhkan lintas ilmu yang sekarang merupakan sesuatu yang niscaya” (Tripa, 2002).

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment