Korupsi sudah menjadi endemi sistematik. Realitas yang menggambarkan betapa di negara ini, korupsi sudah tidak lagi sebagai bentuk tindakan penyimpangan (oleh) individu, tetapi telah menjadi suatu pola perilaku yang tertanam dalam sistem, birokrasi, dan bahkan budaya masyarakat. Kondisi semacam ini memungkinkan terjadi ketika pola-pola pengawasan tidak berjalan dengan baik, dengan transparansi, tingkat integritas, dan penegakan hukum yang bermasalah. Kondisi ini juga diperparah dengan keadaan di ruang sosial yang kian permisif dan keadaan ekonomi yang tidak menentu.
Temuan KPK berupa adanya sebanyak enam ribu izin usaha pertambangan yang tidak patuh terhadap semua ketentuan peraturan perundang-undangan terkait perizinan, sungguh sudah cukup untuk menggambarkan ada endemik sistematik yang cukup serius dalam hal koruptif di sektor pertambangan.
Sejumlah penelitian menunjukkan ada faktor lain yang menyebabkan korupsi kian marak. Salah satunya berupa biaya politik yang mahal sehingga korupsi menjadi kebutuhan untuk bertahan. Lemahnya penegakan hukum juga sebagai sesuatu yang disadari dari dulu, sehingga kondisi ini menyebabkan korupsi seperti terkelola. Pengawasan dan akuntabilitas juga bermasalah, hal ini yang melahirkan dinasti politik dan praktik politik yang terstruktur (Astuti, 2013).
Dalam konteks korupsi sektor sumber daya alam, praktik dan transaksi suap-menyuap antara pengusaha dan pejabat publik, dilakukan di luar yurisdiksi hukum Indonesia. Hal ini merupakan ketelodoran dan modus operandi ini membuat kesulitan dalam penegakan hukum (Syarif, 2021). Harusnya kondisi periode yang lalu, menjadi bahan pembelajaran bagi periode masa depan. Termasuk dalam proses pelaksanaan kekuasaan. Namun realitasnya, belum berjalan dengan baik.
Kondisi lainnya adalah soal ketersediaan instrumen bagi penegakan hukum tidak selalu berjalan selaras dalam praktik penegakan hukumnya. Lembaga penegak hukum, bisa jadi beralasan ada problem di lapangan hukum dalam penguatan dan harmonisasi regulasi terkait sumber daya alam. Kondisi tersebut berimbas pada rumitnya kerja sama dan koordinasi struktur dalam penegakan hukum sektor sumber daya alam ini. Ada satu catatan di luar penegakan hukum, yakni pada sisi kemauan politik. Alasan pragmatis karena semua pemangku kepentingan, memiliki kepentingan dalam lapangan sumber daya alam.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.