Ada satu penegasan penting yang bisa saya maknai dari akademisi generasi awal kajian hukum lingkungan, yakni pada memperlakukan –sejak mulai dari dalam alam pikiran—bahwa kajian hukum lingkungan ini tidak berdiri sendiri, bukan untuk diri sendiri, bahkan tidak berada dalam kamarnya sendiri yang terasing dari pengaruh bidang atau disiplin lain –makanya ada keseyogiaan untuk selalu berhubungan dengan disiplin yang lain.
Kerap muncul pertanyaan bagaimana hubungan tersebut berlangsung? Apakah posisi hubungan tersebut sudah sifatnya ataukah pada lapis pendekatan atau metode kajiannya? Jika pun kita sepakat ia harus berhubungan, apakah lapisannya itu bersifat inter atau (hanya sekadar) multi?
Dalam ranah keilmuan, pertanyaan di atas tidak boleh diabai. Apalagi dalam konteks keilmuan, selalu berbicara proses yang harus diikuti, bukan semata soal hasil yang harus diperoleh. Kajian hukum lingkungan pun, dalam hal ia tidak bisa berdiri sendiri, juga berorientasi pada proses dimaksud. Hasil selalu akan didapat dari bagaimana proses itu berjalan dengan tepat.
Begitulah dalam ranah kajian. Pada dasarnya kajian apa pun yang terkait diskursus hukum lingkungan, idealnya tidak mungkin dilakukan hanya dengan bertumpu pada satu disiplin. Ia melibatkan banyak disiplin –bahkan salah satu rujukan menyebutkan interdisiplin sebagai prosesnya. Sifat hukum lingkungan interdisipliner (Risfalman, 2018). Posisi ini senada dengan apa yang diungkapkan dalam ragam pemikiran yang muncul dari generasi awal hukum lingkungan.
Ada dua hal yang penting ditegaskan. Posisi disiplin dalam konteks bidang hukum lingkungan dan posisi terkait dengan metode kajian. Atas dasar itulah, ketika berbicara yang terkait dengan disiplin harus dimaklumi dua posisi ini.
Posisi disiplin bidang keilmuan, di Indonesia memang belum banyak mengajarkan studi hukum yang interdisipliner. Setidaknya bisa dibandingkan dengan kurikulum hukum di sejumlah negara tetangga, seperti Malaysia, Singapura, dan Thailand (Elnizar, 2022). Hukumonline mengutip riset yang dilakukan oleh dosen Fakultas Hukum Universitas Airlangga, Iman Prihandono dan Dewi Santoso Yuniarti, dengan judul Interdisciplinary Teaching in Law: Study on Indonesian Law Schools. Dalam artikel ini, mereka menyebutkan, bahwa di satu sisi para akademisi merasa pendekatan interdisipliner sebagai sesuatu yang tidak bisa dihindari, tetapi pada sisi lain, baik dari kurikulum maupun praktik, pendekatan ini masih terbatas diadopsi di Indonesia (Prihandono & Yuniarti, 2020).
Secara praktis, soal pengajaran interdisipliner dikritisi. Pendidikan hukum di negara kita, hingga saat ini tidak –atau setidaknya belum—menjadikan model ini sebagai strategi dalam mempersiapkan mahasiswa menghadapi kompleksitas sistem hukum pada era revolusi industri 4.0. Belum lagi secara global, masyarakat keilmuan sedang menyonsong apa yang disebut sebagai era society 5.0.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.