Kemanusiaan, Titik!

Tahun 2004, sekira 21 tahun yang lalu, masalah justru lebih kompleks. Ada kalanya, bencana hidrometereologi sepanjang 27-30 November 2025, dibanding-bandingkan dengan bencana tsunami, 26 Desember 2004 yang lalu. Selalu saja, tidak bisa dilihat dua peristiwa …

Tahun 2004, sekira 21 tahun yang lalu, masalah justru lebih kompleks. Ada kalanya, bencana hidrometereologi sepanjang 27-30 November 2025, dibanding-bandingkan dengan bencana tsunami, 26 Desember 2004 yang lalu. Selalu saja, tidak bisa dilihat dua peristiwa yang sudah terjadi, secara hitam-putih. Kita harus melihat dan menyerap-pahami dengan dua realitas sosial-politik yang berbeda dari dua zaman itu. Misalnya, dalam sejumlah indikator, umumnya orang-orang merasa dampak dari bencana 2025 lebih berat dibandingkan dengan tsunami. Jumlah orang yang meninggal memang tidak sebanding. Korban tsunami lebih 250 ribu jiwa. Sementara bencana 2025, untuk tiga provinsi, jumlahnya lebih seribu orang. Akan tetapi saya yakin, setiap bencana bukan saja soal jumlah korban jiwa. Banyak faktor yang harus dilihat –faktor ini yang biasanya akan diperdebatkan untuk mendudukkan status bencana dalam konteks nasional. Belum lagi soal faktor politik yang masih tetap dipegang elemen bangsa ini ketika menghadapi bencana. Masih sempat berpikir kepentingan yang picik dan jangka pendek yang menghancurkan kemanusiaan.

Kelebihan Susilo Bambang Yudhoyono dan M. Jusuf Kalla, atas bencana 2004, pada keterbukaannya untuk urusan kemanusiaan. Tidak ada soal kedaulatan yang dilanggar ketika orang lain ingin membantu manusia dalam ruang kemanusiaan. Bangsa lain merasa tersentuh untuk membantu, pada dasarnya sama dengan bangsa ini yang juga trenyuh saat melihat bangsa lain sedang bencana. Jika bangsa ini menolak bantuan yang ditawarkan atau diberikan bangsa lain, pasti akan muncul sumpah-serapah dari publik. Sama persis ketika bangsa ini ingin membantu bangsa lain yang sedang bencana, jika bangsa yang bersangkutan menolak, hal yang sama juga akan dilakukan oleh publik kita.

Ada pergeseran cara mendapat informasi berlangsung akhir-akhir. Sumber informasi tak hanya dipegang oleh otoritas atau jalur media mainstream. Siapa pun sudah memiliki jalur informasi secara terbuka. Sungguh pun jika penguasa negara memiliki kepentingan politik dengan menutup dan menekan informasi dari suatu peristiwa, selalu saja ada celah bagi publik untuk mengetahui dari berbagai jalur. Realitas ini harusnya dipahami oleh semua pihak, dengan hati yang lapang dan terbuka. Kepentingan kemanusiaan, untuk menyelesaikan persoalan-persoalan dasar bagi mereka sebagai korban, sangat penting diutamakan.

Pemahaman itulah yang dimiliki pengelola tanggap darurat tahun 2004. Semua pihak diberi peran dan akses untuk membantu, dalam urusan kemanusiaan, dengan berbatas waktu. Setelah waktunya sampai, mereka diucapkan terima kasih dan kembali ke tempatnya masing-masing. Tidak akan meruntuhkan martabat negara hanya gara-gara memberi ruang bangsa lain ikut serta membantu bangsa kita yang mengalami bencana. Apalagi sampai mengembalikan bantuan bangsa lain yang sudah sampai di tempat kita. Terlalu angkuh suatu bangsa, yang korban bencana kelaparan, tetapi menolak bantuan bangsa lain yang sudah sampai ke sini, dengan menyebut kedaulatan. Seolah-olah dengan bantuan, akan membuat bangsa ini dijajah.

Rasanya dalam soal kemanusiaan, masih banyak hal yang perlu dibenahi. Soal mentalitas, hingga bagaimana memilah-milah kepentingan. Saat orang lain berkuasa, kita melakukan sesuatu yang diharapkan, sedangkan ketika kita berkuasa, kerap tidak mau dikritisi oleh pihak lain. Tahun 2018, misalnya, Partai Gerakan Indonesia Raya secara terang-terangan meminta bencana Lombok ditingkatkan sebagai bencana nasional, dengan berbagai pertimbangannya. Namun ketika partai itu berkuasa, dalam bencana 2025, seperti tidak mau mendengar ada partai lain yang menuntut hal yang sama.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment