Kondisi yang Serba Antre

Ada kedongkolan massal terdengar dari masyarakat bawah, terkait dengan kelambanan penanganan dan krisis seperti listrik. Warung kopi yang menyediakan genset menjadi alternatif dalam mencari sumber listrik yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan komunikasi dan daya …

Ada kedongkolan massal terdengar dari masyarakat bawah, terkait dengan kelambanan penanganan dan krisis seperti listrik. Warung kopi yang menyediakan genset menjadi alternatif dalam mencari sumber listrik yang bisa digunakan untuk berbagai kebutuhan komunikasi dan daya lampu (penerang). Masalah ternyata tidak selesai di sini. Daya alat komunikasi tidak sebanding dengan lancarnya jaringan internet dan telepon genggam masyarakat. Bagaimana bisa sebesar Telkomsel, ternyata memberi alasan tak masuk akal, antara lain, terganggu jaringan karena tidak ada sumber listrik di gardu-gardu mereka. Orang-orang yang duduk di warung kopi, tidak percaya alasan ini. Perusahaan sebesar ini bermasalah dengan ketersediaan tersebut.

Anak-anak muda berpandangan lain, dimana ruang komunikasi sepertinya sengaja dalam posisi ini. Mereka menduga, seiring dengan sikap pemerintah yang tidak mau merespons tuntutan masyarakat untuk menetapkan bencana nasional, berbagai informasi yang menggambarkan keadaan dalam masyarakat bawah, sepertinya ada upaya ditutup-tutupi. Para anak muda tidak kehilangan akal. Mereka membangun ruang-ruang baru untuk menghidupan agar komunasikan bisa dilakukan dengan pihak mana pun. Mereka duduk berkelompok-kelompok di warung-warung, termasuk saling berbagi bagaimana mendayagunakan alat komunikasi yang ada.

Di ruang sosial yang lain, masyarakat lainnya dibuat antre berjam-jam hanya untuk mendapatkan gas elpiji ukuran 3 kg. Mobil-mobil pengangkut tabung gas hilir-mudik, tetapi tempat-tempat untuk mengakses elpiji, bertumpuk dan berjibun orang-orang yang ingin mendapatkannya. Beberapa kali saya menyaksikan di depan masjid kampus, orang-orang dari kampung sekitar kampus, sudah menunggu dari sehabis subuh. Gas baru datang setelah shalat ashar. Berlapis-lapis baris orang yang mengantre gas, hingga kawasan depan masjid kadang-kadang menjadi lautan manusia.

Belum lagi soal bahan bakar di tempat pengisian, masih terasa tidak nyaman. Antrean masih terasa. Untuk mengakses beberap liter untuk motor, harus antre panjang. Kita baca di koran, katanya ketersediaan bahan bakar cukup, namun seperti ada ketakutan orang-orang yang ikut antre. Tak heran, sejumlah tempat pengisian di kota ini, dipenuhi orang-orang yang antre untuk mendapat bahan bakarnya.

Kondisi ini, bagi para pengelola kekuasaan, dianggap sesuatu yang normal dan rasional. Ketika ada satu kondisi seperti bencana, lalu terjadi antre dimana-mana, dianggap sesuatu yang biasa. Namun bagi sebagian orang, justru merasakan aroma yang berbeda. Orang-orang kecil antre gas berjam-jam, dari pagi hingga sore, namun di ruang lain, ada orang-orang tertentu yang menjual gas dengan harga yang tidak masuk akal. Bagaimana bisa mereka mengakses gas, yang orang-orang seperti di depan masjid kampus, justru antre dari pagi hingga sore hanya untuk mendapatkan satu tabung saja. Sama seperti bagaimana curiganya orang terhadap perusakaan telekomunikasi, yang terganggu sinyalnya padahal dengan alasan sederhana. Padahal alat komunikasi sangat penting dalam melakukan kontak di dalam masyarakat.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment