Saya kira sangat berbeda antara kritis dan fitnah. Dalam Kamus Bahasa Indonesia, kata “mengkritik” memiliki dua maksud, yakni mengemukakan kritik dan mengecam. Mengkritik berasal dari kata kiritik, yang berarti “kecaman atau tanggapan, kadang-kadang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk terhadap suatu hasil karya, pendapat, dsb”. Dalam konteks kritik yang membangun, dimaksudkan sebagai kritik yang bersifat memperbaiki. Kritik dilakukan oleh orang yang mengkritik. Dengan berpatokan pada konsep di atas, sebuah kritik tidak mesti disertai uraian dan pertimbangan.
Kritik terkait dengan kecam. Dari segi konsep, kata itu berarti mengatakan bahwa ada celanya; mencacat; mengecam; mengkritik; menghina. Mencela berasal dari kata “cela”, yang berarti: (1) sesuatu yang menyebabkan kurang sempurna; cacat; kekurangan; (2) aib; noda (tentang kelakuan, dsb); (3) hinaan; kecaman; kritik.
Sementara menghina, bermaksud: (1) merendahkan; memandang rendah (hina, tidak penting); (2) memburukkan nama baik orang; menyinggung perasaan orang (seperti maki-maki, menistakan.
Dari segi konsep, dalam Kamus Bahasa ada sejumlah maksud tertentu dipandang sama. Ada konteks tertentu yang diposisikan bahwa maksud dari kata kritik, hina, bahkan cela, dan kecam, pada dasarnya sama saja. Namun tidak bisa dinafikan, dalam konteks lain, penggunaan kata itu bisa berarti berbeda. Dengan bertitik tolak dari gambaran demikian, pengaturan tentang penghinaan perlu dirumuskan secara hati-hati karena ia terkait dengan konteks.
Karena hal ini terkait dengan konteks, maka maksud ketentuan “penghinaan”, ketika sudah diatur nantinya, akan berpeluang untuk dibelokkan untuk berbagai kepentingan. Berpatokan pada KUHP, penghinaan terhadap presiden bisa saja bertumpu pada delik aduan. Pengaturan secara khusus kan berpeluang digunakan untuk menghantam orang yang melakukan kritik. Padahal kritik juga sangat penting dalam mendampingi proses pembangunan.
Kritik bisa saja tanpa solusi. Orang yang melakukan kritik, sebenarnya orang-orang yang berusaha menyampaikan sesuatu, walau untuk sesuatu itu, tiada solusi yang ditawarkan. Bagi yang menerima kritik, seharusnya dengan adanya kritik –walau belum ada solusi— akan memudahkan yang bersangkutan mengetahui apa saja yang kurang. Catatan penting yang harus diberikan, bahwa pengkritik pun bisa tidak murni. Dalam sebuah kritik pun bisa didompleng oleh berbagai kepentingan.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.