Saya sering bercanda dengan mahasiswa di dalam kelas. Saat kuliah. Sudah tidak terhitung, saya mendapati mahasiswa, yang menggunakan jalan pintas. Di belakang kampus, jalan dua jalur. Mereka tidak mau menggunakan jalur yang sesungguhnya. Saya sering geram dan marah. Sayangnya, kadang kala ada mahasiswa senior.
Saya marah juga sama jika ada dosen atau pegawai. Jika tidak melewati jalur sesungguhnya, saya geram. Ini, saya katakan, soal mentalitas. Tidak usah bicara muluk-muluk yang lain, jika masih mau mencuri yang bukan hak. Termasuk hak menggunakan jalan.
Kepada mahasiswa pernah saya tanya, apakah yang menerima beasiswa itu semuanya mereka yang berhak? Ternyata tidak. Dalam media, pernah ditemukan, mereka yang kaya juga mengurus surat miskin dari keusyik. Di tempat lain, penerima beasiswa kecil, justru kedapatan keasyikan di klub malam.
Beberapa waktu yang lalu, penerima bantuan sosial mundur. Saya kira soal merasa tidak berhak. Rupanya bukan. Saat pertama membaca berita mundurnya ini, ada perasaan bahagia di batin. Sesuatu yang paling berat kita laksanakan, ternyata pelan-pelan sudah mulai berlangsung dan berubah. Mengakui posisi diri sebagaimana adanya, adalah suatu hal yang mulia. Ada ungkapan Aceh yang penting menggambarkan keadaan ini, adalah “peugah lagee buet, pubuet lagee na” (sampaikan sebagaimana perbuatan, dan melakukan sesuatu sebagaimana adanya”.
Sengaja saya sebut “kita”, karena ada banyak orang yang semakin bergelimang dengan ketidakjujuran. Sulit sekali orang bisa menyampaikan apa adanya. Bahkan dalam lingkungan orang-orang pandai. Orang yang sudah punya rumah, namun masih meudahoh bantuan rumah. Mereka yang menuntut ilmu, ada yang menerima beasiswa ganda. Kemana-mana bilang tidak punya apa-apa, padahal di rumah serba mewah.
Keadaan ini juga menghinggap sebagian golongan masyarakat atas, yang hidupnya bergantung dari proposal dan anggaran pemerintah. Mereka yang punya pangkat dan jabatan, sudah punya berbagai tunjangan, masih meurampot juga kanan-kiri. Ada yang main sulap anggaran. Ada yang main potong beasiswa mahasiswa. Main pet-pet dana aspirasi. Apakah kita tidak tahu bahwa itu tidak benar?
Atas berbagai kenyataan di atas, tentu saja membahagiakan sekali ketika mendengar ada yang mundur dari program bantuan yang sudah bukan haknya. Pilihan mundur itu dengan sendirinya akan memberikan kesempatan untuk orang-orang yang membutuhkan.
Tetapi benarkah begitu? Ternyata yang ironis dan menyesakkan dada, karena ternyata sebagian orang yang memilih mundur itu bukan karena mereka merasa sudah mampu –dengan demikian sudah tidak berhak menerima berbagai bantuan—melainkan karena malu di rumahnya ditempel stiker keluarga miskin. Jika pernyataan ini dibalik, bukankah seandainya tidak ditempel stiker, tidak ada orang mampu yang mundur dari penerima manfaat bantuan?
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.