Pemahaman harmoni sangat penting untuk posisi Aceh yang berada pada arena pascakonflik (sekaligus pascatsunami) dan membutuhkan responsivitas yang lebih besar lagi. Apalagi hukum dalam konteks Aceh dalam republik, sebagai wujud dar bentuk yang lebih kongkret dari apa yang disebut sebagai kesepahaman bersama. Jadi bukan hukum yang dilihat secara terpisah dari keberadaan kesepahaman bersama tersebut.
Dalam satu diskusi menjelang 20 tahun damai Aceh, salah seorang yang terlibat dalam tim runding Indonesia di Helsinki, Prof. Hamid Awaluddin mengingatkan bahwa MoU itu fondasi yang tidak boleh dianggap tanpa makna. UUPA dan revisi apapun dipandu oleh MoU tersebut sebagai modal dan akar dalam menyelesaikan konflik. Pendapat semacam ini, beberapa kali juga diungkapkan Wakil Presiden waktu itu, HM Jusuf Kalla. Ia mengingatkan agar menjaga rasa saling percaya atas tercapainya damai.
MoU dapat disebut sebagai titik temu dari moral. Ketika membuat konsensus, para pihak utama –Pemerintah dan Gerakan Aceh Merdeka—yang bertemu dan berdialog di sudut Helsinki (Finlandia), memiliki pertimbangan mendalam untuk menyetujui hal yang bisa diterima bersama. Pertimbangan ini, secara kongkret bisa dibaca dalam konsiderans menimbang dari UUPA.
Ketika posisi sekarang masih ada yang bermasalah dan mempermasalahkan pada UUPA, secara konsep sepertinya harus dipahami begitu sulit apa yang menjadi titik temu moral itu lalu dirumuskan dalam teks-teks formal yang terukur. Hal ini, menurut tingkatannya dapat dilihat dalam dua masalah. Masalah pertama, ditemui adanya perbedaan cara membaca, cara menerjemahkan, cara memahami, dari teks moral ke teks undang-undang. Apa yang menjadi konsensus dan ada dalam MoU, ternyata tidak semua terbaca dan tertampung secara gambling dalam UUPA. Masalah kedua, pada sisi cara UUPA diimplementasikan. Apa yang sudah ada dalam UUPA saja, masih saja memiliki banyak hambatan dan tantangan untuk terumus secara kongkret dalam aturan pelaksananya.
Dua masalah di atas, bukan perkara sederhana. Butuh keikhlasan dan kelegaan hati untuk memperbaiki diri sebagai konsekuensi dari konsensus moral. Rasa saling percaya, tidak main belakang, dan apa adanya, merupakan sikap-sikap arif yang harus dipupuk dalam rangka merawat damai Aceh yang sesungguhnya masih seumur jagung. Malah seharusnya kedua pihak utama dalam MoU harus bahu-membahu dalam proyek merawat ingatan bagi generasi muda Indonesia agar mereka tahu bahwa di Aceh pernah merasakan kisal kelam yang tidak boleh terulangi di masa mendatang. Merawat ingatan ini tidak sama seperti merawat luka. Merawat ingatan sangat penting agar generasi masa depan tidak mengulang kisah kelam yang sama.
Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.