Pemimpin Daerah Dianggap Cengeng

Sejak awal bencana, ada sejumlah kepala daerah yang menyurati presiden terkait penanganan bencana. Bupati Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Selatan, Nagan Raya, hingga Aceh Utara. Mereka yang sudah mendapatkan informasi terkait bagaimana dampak yang mereka …

Sejak awal bencana, ada sejumlah kepala daerah yang menyurati presiden terkait penanganan bencana. Bupati Aceh Tengah, Aceh Timur, Aceh Selatan, Nagan Raya, hingga Aceh Utara. Mereka yang sudah mendapatkan informasi terkait bagaimana dampak yang mereka rasakan dari bencana yang terjadi. Bahkan ada hal lain yang terjadi, seperti Bupati Aceh Selatan, yang ternyata melaksanakan ibadah umrah pada saat proses tersebut, yang berakibat mendapat pemberhentian sementara dari menteri dalam negeri.

Mereka menyampaikan keadaan yang di luar kemampuan, agar mendapat perhatian dari pemerintah atas. Hal yang disampaikan masuk akal. Para korban banjir yang belum tertangani. Kondisi sampah, lumpur, dan kayu gelondongan yang terbawa banjir, tidak mungkin diselesaikan oleh pemerintah pada tingkat mereka. Belum lagi soal harga barang yang tidak terkendali, stok bahan pokok yang sulit, termasuk kebutuhan-kebutuhan dasar bagi masyarakat.

Apa yang disampaikan, sesungguhnya bukanlah sesuatu yang berlebihan. Tidak semua kawasan sudah mampu dijangkau oleh mereka. Makanya mereka menyurati presiden untuk menyampaikan ketidakmampuan menangani bencana. Bencana yang terjadi, menurut mereka, membutuhkan penanganan yang lebih besar dan menghadirkan kekuatan negara. Selain soal bagaimana status bencana ditingkatkan menjadi bencana nasional –sesuatu yang sepertinya sangat ditutup rapat oleh pemerintah Jakarta.

Penyampaian surat semacam ini, oleh sebagian politisi yang hidupnya di tempat nyaman, justru dianggap sebagai cengeng, tidak tahan banting, dan banyak mengeluh. Mereka yang berada di tempat yang jauh dari hiruk-pikuk derita bencana ini. Atau jangan-jangan mereka yang memiliki jejak dalam menghancurkan hutan hingga berdampak pada bencana yang terjadi. Bagi orang-orang semacam itu, para bupati disuruh berjuang sendiri dan jangan banyak mengeluh.

Kondisi semacam itu sengaja diciptakan untuk menggambarkan seolah-olah jangan ada keluhan apapun dalam bencana. Dalam dunia politik, penyampaian surat semacam itu bisa dianggap aib dan bahkan bisa mengganggu kenyamanan para pemimpin negara di atas sana. Bahkan ditakutkan, akan muncul masalah-masalah baru yang tidak lagi ada hubungan dengan bencana.

Padahal dalam realitas, pemerintah pusat sepertinya membatasi diri. Bisa saja alasan tertentu yang tidak kita ketahui. Misalnya, soal anggaran yang rumit dan sulit –walau dalam hal lain, seperti makan siang gratis, justru bisa jor-joran—untuk bencana, nyaris minimalis. Kondisi ini sudah seharusnya mendapatkan perhatian lebih besar dan serius. Jangan bermain-main dengan derita orang di bawah sana, yang mendapatkan dampak dari pelaku perusakan lingkungan yang lebih besar. Perusakan –atau pemangku kepentingan pasti menyebut dengan kerusakan – ada yang disebabkan oleh desain manusia secara sadar dan terencana.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment