Sekeping Snouck

Saya tergoda menulis sejumlah kepingan Snouck (maksud saya: Snouck Hugronje), seorang penasehat penting penguasa kolonial di Hindia Belanda, yang juga seorang antropolog penting dunia ilmu pengetahuan. Sejumlah kepingan tulisan pun pernah saya tulis. Tahun 2003, …

Saya tergoda menulis sejumlah kepingan Snouck (maksud saya: Snouck Hugronje), seorang penasehat penting penguasa kolonial di Hindia Belanda, yang juga seorang antropolog penting dunia ilmu pengetahuan. Sejumlah kepingan tulisan pun pernah saya tulis. Tahun 2003, saat Komunitas Tikar Pandan meminta saya menuliskan sedikit tentang Snouck untuk pidato kebudayaan, saya memenuhinya.

Waktu di Tikar Pandan, saya menulis tentang “Teungku Abdul Gaffar”. Waktu itu, saat Aceh sudah Darurat Militer, di pelataran secretariat mereka di sekitar Terminar Seutui (yang sekarang sudah dibangun Suzuya), saya menyampaikan pidato kebudayaan selama 1,5 jam.

Di luar apa yang pernah saya tulis itu, saya punya catatan lain. Saya menyoroti tentang betapa penting Januari dan Februari bagi Snouck. Dalam bulan-bulan inilah, Snouck membuat “transaksi” penting mengenai proyek penyelidikannya di Aceh. Terutama Januari 1902 hingga Januari 1903. Hal tersebut dapat terbaca dalam beberapa suratnya kepada Direktur Pengajaran, Ibadah dan Kerajinan, Direktorat Negeri Jajahan, bahkan Urusan Pribumi dan Arab.

Transaksi inilah yang dipermasalahan sejumlah ilmuwan. Antara lain bagaimana seorang ilmuwan meminta-minta “pekerjaan” dengan mempertaruhkan netralitas keilmuannya.

Soal posisi Snouck bermula saat Belanda gagal menghadapi Aceh. Setelah dimaklumatkan perang terhadap Aceh, awalnya kekuatan kolonial berpikir sedang “di atas angin”. Bangsa berkekuatan di Eropa, yang pada awal abad ke-20 menguasasi banyak negara di dunia. Di Aceh, persoalan ternyata lain. Yang terjadi, hingga sepuluh tahun kemudian, perang ternyata tidak bisa diselesaikan. Ada banyak korban jiwa, baik Aceh maupun Belanda. Tidak sedikit harta yang sia-sia, dengan hamburan uang atas nama perang digelontorkan Belanda. Korban tentara juga sia-sia. Bahkan dalam masa perang dan perlawanan Aceh itu, tiga jenderal Belanda menjadi korban, yakni JH Rudolf Kohler (meninggal 14 April 1873), Johannes Ludovicius Jakobus Hubertus Pel (meninggal 23 Februari 1876), dan Henry Demmeni (meninggal 1884).

Tulisan ini tidak ingin larut dalam perang. Ada hal lain yang ternyata jauh lebih menarik dari catatan sejarah. Perang dan kebijakannya ternyata dirumuskan oleh banyak pihak. Salah satu yang terpenting adalah adanya barisan kaum intelektual di dalamnya. Istilah ini bisa saja tidak diterima, dengan asumsi makna kata intelektual yang seharusnya dipakai secara positif. Namun tidak terbantahkan bahwa mereka yang berperang, membutuhkan pula “pikiran orang pandai”.

Ketika perang Belanda dan Aceh terus berkecamuk, Belanda mulai berpikir strategis dan fundamental. Sebelumnya mereka berpikir kekuatan dan taktik menggunakan kekuatan tentara dan senjata. Strategi itu kemudian diubah.

Salah satu strategi jangka panjang Belanda adalah mencari tahu penyebab perang tidak bisa diselesaikan. Proyek yang dimunculkan adalah penelitian. Nama pelaksana penelitian itu, yang kemudian muncul adalah Snouck.

Wallahu A’lamu Bish-Shawaab.

Leave a Comment